Wisata Indonesia - Dalam kurun waktu yang cukup lama, pada zaman dahulu di pedalaman Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas telah terjadi fenomena alam dimana muncul sebuah kerikil di tengah-tengah sungai. Konon kerikil tersebut yaitu jelmaan seorang laki-laki berjulukan Nek Jage. Cerita ini kemudian menjadi dongeng khas dari suku Dayak Salako Badamea di Kabupaten Sambas yang sudah turun menurun diceritakan kepada anak cucu dan hingga kini.
![]() |
photo : |
Konon berdasarkan dongeng orang-orang, nun dahulu kala di Gunung Pelanjau berdiamlah sebuah keluarga yang rukun dan bahagia. Sang suami berjulukan Nek Jage, sedangkan istrinya berjulukan Nek Sari. Mereka tinggal bersama anak dan menantunya. Anaknya berjulukan Amat dan menantunya berjulukan Minah.
Di dalam keluarga itu, terdapat seorang cucu laki-laki yang lucu dan teramat manja, namanya Maman. Nek Jage dan istrinya sangat sayang pada cucunya itu. Begitu besar perhatian Nek Jage terhadap cucunya yang elok dan imut itu. Sehingga apa saja yang diminta oleh cucunya, Nek Jage selalu berusaha mencarinya demi kebahagiaan cucu satu-satunya itu. Orang bilang cucu semata wayang memang disayang.
Pada suatu hari Nek Jage akan pergi berburu ke hutan. Ia bangkit pagi-pagi sekali (dini hari sekitar jam 02-an), sebelum burung-burung berkicau dan ayam berkokok, dan sebelum sang surya mengintip di balik Gunung Pelanjau.
Segala peralatan berburu segera disiapkan oleh Nek Jage. Sedangkan Nek Sari mempersiapkan bekal masakan untuk suaminya yang tercinta. Setelah segala sesuatunya telah siap, maka Nek Jage pamit pada Nek Sari. Setelah Nek Jage pamit kepada istrinya, ia pun berangkat berburu ke hutan belantara yang masih gelap gulita. Nek Jage terus berjalan menuju hutan, Nek Jage ke luar masuk hutan demi mencari binatang buruan menyerupai babi hutan, pelanduk, dan binatang lainnya.
Alhasil, Nek Jage semenjak dari tadi belum juga berjumpa dengan binatang buruan, dan lama-kelamaan Nek Jage menjadi lelah. Tidak usang kemudian Nek Jage duduk beristirahat pada sebuah pohon yang amat besar di hutan itu. Nek Jage menyandarkan tubuhnya yang kurus itu. Kadang-kadang pikirannya selalu melayang-layang pada cucunya dirumah. Rasanya sudah berjam-jam lamanya Nek Jage berburu binatang, tetapi ia belum juga mendapat seekor binatang buruan.
Di bawah pohon itu, Nek Jage selalu gelisah, wajahnya begitu sendu, kadangkala memikirkan cucunya yang ia sayangi. Tidak usang kemudian, ada bunyi burung-burung yang berkicau terdengar dari kejauhan. Nek Jage terbuai oleh kicauan burung-burung yang melompat-lompat dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya. Nek Jage memperhatikan burung-burung itu dengan tatapan yang tajam untuk menangkap burung-burung itu. Namun Nek Jage tidak berhasil menangkap burung itu, Nek Jage menjadi kesal sekali.
Tak terasa bagi Nek Jage kini waktu sudah tengah hari. Sedangkan nek Jage belum juga menemukan seekor binatang buruan. Sebab bila Nek Jage bertemu dengan binatang buruan itu, maka dengan secepat kilat binatang-binatang itu akan lari masuk ke hutan yang sangat gelap. Seringkali Nek Jage gagal menangkap binatang buruan itu, hal itu menciptakan hati Nek Jage sangat kecewa. Tapi, apabila ia ingat akan cucunya, Nek Jage terus mencari binatang buruan dengan berpindah-pindah ke daerah yang lain.
Memang hutan yang dimasuki Nek Jage, hutannya sangat lebat, pohon-pohonnya berbatang besar. Maklum pohon-pohon tersebut sudah berusia ratusan tahun, bahkan tak sedikitpun sinar cahaya matahari yang sanggup menembus ke dalam hutan itu. Nek Jage terus berjalan tanpa beralas kaki keluar masuk hutan untuk mencari pelanduk, babi atau pun seekor rusa. Tidak ada rasa takut sedikitpun di hati Nek Jage terhadap binatang buas, sebab itu sudah menjadi kebiasaannya sehari-hari.
Nek Jage berjalan dengan tenang. Ketika Nek Jage sedang berjalan, tiba-tiba di depannya ada seekor pelanduk yang sedang melintas. Maka dengan langkah perlahan-lahan Nek Jage mengintai sang pelanduk. Dengan sigap Nek Jage melemparkan tombaknya, tetapi apa yang terjadi, tiba-tiba sang pelanduk mengetahui kalau ia akan ditombak oleh Nek Jage. Sehingga pelanduk itu berlari dengan kencangnya.
Memang nasib lagi apes bagi Nek Jage malam ini. Kemudian Nek Jage hari itu pulang dengan tangan kosong, tanpa ada seekor binatang buruan. Nek Jage berjalan dengan langkah gontai pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Nek Jage hanya sanggup tersenyum tipis melihat tingkah laris cucunya yang sangat lucu. Nek Jage kemudian menghentikan langkahnya sambil memandang cucunya kemudian mencium kening cucunya, yaitu si Maman.
“Aduh, Cu ... lagi apa kamu, Cu ...” tanya Nek Jage kepada si Maman cucunya.
“Lagi main, Kek ...”, jawab si Maman.
“Mana hasil Kakek berburu, Kek ...?”, tanya cucu Nek Jage.
“Tidak ada, Cu ..., susah mencari binatang buruannya”, jawab Nek Jage sambil tersenyum tipis.
Tak usang kemudian tiba Nek Sari menyambut kedatangan suaminya.
“Mana hasil buruanmu?”, tanya istrinya.
“Binatang buruanku selalu menghindar, dan jarang sekali saya melihatnya”, kata Nek Jage sambil berjalan menuju daerah duduk di depan rumahnya.
“Barang kali kau terlalu usang turunnya ke hutan”, kata Nek Sari kepada Nek Jage.
“Ahhhh, mungkin juga kali, Nek ...!, mungkin juga belum rezekiku. Kita harus bersabar saja. Lain kali kita niscaya akan mendapatkannya”, kata Nek Jage kepada istrinya.
“Kurasa rasa kau lebih baik agak awal lagi turunnya, binatang-binatang itu kan tertidur sehingga praktis diburu”, kata istri Nek Jage memberi pendapat.
“Yah, kalau begiu oke saya akan lebih awal lagi turun esok malam!”, kata Nek Jage lagi.
“Aku mau istirahat dulu, Nek”, tambah Nek Jage.
“Ya, lah...air panas sudah ku siapkan untuk mu mandi”, kata Nek Sari kepada Nek Jage.
“Terima kasih, Nek”, jawab Nek Jage.
Kemudian Nek Jage pun mandi dan istirahat. Hari itu beliau letih sekali sebab semalam berburu tetapi alhasil nihil. Namun Nek Jage tidak frustasi dan kalah semangat. Esok hari ia niscaya akan mendapat hasil buruan yang lebih banyak. Sambil berbaring ia menghayal menyusun taktik untuk berburu pada malam-malam berikutnya, sebagaimana saran dari Nek Sari barusan tadi siang. Apa yang dikatakan istrinya memang benar dan masih teringat di otaknya. Nek Jage pun tersenyum tipis, tampaknya ia menemukan wangsit baru, sehabis itu Nek Jage tertidur pulas hinggakan istrinya yang mau tidur disampingnya pun tidak diperdulikannya lagi.
Pada suatu malam yang sudah direncanakan sebelumnya, Nek Jage turun dari pondoknya dengan tujuan untuk berburu. Nek Jage turun lebih awal dari sebelumnya. Ia telah berjanji akan pergi berburu kepada istrinya lebih awal lagi. Nek Jage berpikir bahwa barangkali saat-saat tengah malam semua binatang tidur, sehingga lebih praktis untuk menangkapnya.
Peralatan semuanya sudah disiapkan oleh Nek Jage sendiri. Tombak, takin, manggar kelapa sebagai alat suluhnya di dalam hutan yang lebat, serta sedikit masakan dan air. Siapa tahu nantinya kelaparan atau kehausan di dalam hutan.
Kepergian Nek Jage tidak diketahui oleh istrinya, anak dan menantunya sekalipun, dan bahkan cucunya pun tidak mengetahui kepergian Nek Jage. Mereka semuanya tertidur lelap pada ketika Nek Jage berangkat berburu ke hutan belantara. Nek Jage yakin benar bahwa di hutan nantinya ia akan mendapat binatang buruan yang banyak.
Di tengah malam buta, Nek Jage terus berjalan menyusuri hutan yang sangat lebat. Pohon-pohonnya pun besar-besar dan menjulang tinggi ke angkasa. Suara-suara burung pungguk, burung kuil, terngiang-ngiang ditelinganya. Suara burung-burung hantu yang menakutkan. Suara binatang malam terdengar di mana-mana menciptakan malam semakin angker saja. Tapi bagi Nek Jage, semua itu tidak menjadi halangan untuk berburu di tengah malam.
Di dalam perjalanan Nek Jage menyusuri hutan, tiba-tiba langkahnya terhenti seketika. Lampu suluhnya yang terbuat dari manggar kelapa telah padam, dan cadangannya pun telah habis. Nek Jage jadi bingung, belum saja mendapat hasil buruan, ada saja halangannya yaitu api suluhnya padam. Bagaimana sanggup berburu kalau tidak ada alat penerangannya.
“Ahhh, nasib memang lagi sial kali, gres saja mau berburu, apinya padam”, keluh Nek Jage.
“Apa salah dan dosa ku ya, Dewata?”, tambah Nek Jage berkeluh kesah.
Ketika ia lagi berkeluh kesah, tiba-tiba Nek Jage melihat ada cahaya yang bersinar begitu terperinci tidak jauh darinya. Secara spontan, Nek Jage heran melihat cahaya itu, matanya tidak berkedip sedikitpun melihat cahaya itu, kemudian Nek Jage mendekati cahaya itu.
“Cahaya apakah itu, terperinci sekali cahayanya?”, kata hati Nek Jage penuh tanda tanya.
“Nahhh, saya ada ide...lebih baik cahaya itu saya jadikan alat suluh untuk saya berburu”, ucap hati kecil Nek Jage yang mendapat wangsit baru.
Nek Jage terus mendekati sumber cahaya itu dan mengambil cahaya itu, kemudian menempelkannya di dahinya. Ternyata cahaya yang bersinar itu yaitu flora homogen kulat kerang (cendawan) yang sanggup memancarkan cahaya yang amat terang. Nek Jage membiarkan cahaya itu melekat di dahinya, dengan itu menciptakan Nek Jage lebih praktis berjalan dan berburu. Dengan adanya kulat yang bercahaya itu, Nek Jage merasa terbantu sekali, sebab praktis baginya memburu hewan-hewan yang akan di tombaknya.
Dengan derma cahaya kulat itu, Nek Jage sanggup berjalan dengan praktis dan disekitarnya menjadi terperinci benderang oleh sinar kulat itu. Nek Jage terus berjalan sambil mencari binatang buruan. Tiba-tiba cahaya yang ada dikening Nek Jage dengan secepat kilat menerangi babi yang lagi tidur di semak belukar. Herannya babi itu eksklusif terkapar di daerah itu juga. Nek Jage merasa heran dan terkagum-kagum akan keajaiban cahaya kulat yang menampel di dahinya. Betapa senanmgnya hati Nek Jage, akan kehebatan cahaya itu yang sanggup mematikan binatang buruannya.
“Terima kasih! Terima kasih, Dewata.... kau telah menolongku. Terima kasih cahaya, kau juga telah menolongku!”, kata Nek Jage sambil tertawa berderai.
Tawa Nek Jage memecah kesunyian malam yang mencekam. Tawanya menggema kepelosok-polosok hutan belantara. Tak putus-putusnya Nek Jage sebab kegirangan mendapat seekor babi hutan yang amat besar. Nek Jage gembira akan kehebatan cahaya kullat yang gres ditemukannya itu. Tak usang kemudian ada seekor kijang sedang lewat yang tidak seberapa jauh di depannya.
Begitu Nek Jage melihat kijang itu, seketika itu juga cahaya yang melekat dikeningnya mengenai kijang tersebut. Tiba-tiba dengan seketika kijang itu eksklusif mati terkapar. Nek Jage dengan senang hati bersorak kegirangan dan mengambil binatang buruannya.
Setelah merasa puas berburu, Nek Jage memutuskan untuk pulang kerumahnya. Nek Jage sudah merasa rindu dengan cucunya, meskipun hanya dua, tiga jam atau semalam Nek Jage sangat rindu akan cucunya itu. Rasa berat sekali Nek Jage berjauhan dengan si Maman cucu kesayangan. Ia memangul hasil buruannya dengan takin yang sudah dibawanya dari rumah. Dengan segera Nek Jage berjalan menyusuri hutan menuju rumahnya di tepi hutan.
Setibanya dipondoknya, semuanya sepi, baik istri anak dan menantunya tidak berada di rumah. Nek Jage merasa heran. Ke mana gerangan anggota keluarganya pergi. Tak ada satupun yang menyahut atas panggilan Nek Jage. Kegelisahannya semakin menjadi.
Dengan rasa tak sabaran lagi, kemudian dilemparkannya binatang hasil buruannya itu di luar rumah. Setelah Nek Jage masuk ke dalam rumah, tak satupun orang yang dijumpainya. Istri dan anak serta menantunya pada waktu itu semuanya ke ladang mengambil padi dan mencari jagung.
Tiba-tiba Nek Jage mendengar bunyi cucunya yang sedang bermain-main di dalam bauh. Bauh yaitu daerah menyimpan padi, yang dindingnya sangat kokoh dan terbuat dari kulit kayu yang tebal. Nek Sari memang sengaja menyimpan cucunya di dalam bauh biar cucunya itu tidak kemana-mana, nanti takut cucunya main ke sungai, sebab pondok atau rumah mereka tidak jauh dari hulu sungai Sebangkau.
Dengan rasa tidak sabaran lagi, Nek Jage kemudian ingin melihat cucunya yang sedang bermain-main di dalam bauh. Karena merasa kesulitan melihat cucunya yang sedang bermain, maka Nek Jage eksklusif membuka pintu bauh yang terkunci dari luar. Serta merta cucunya yang melihat kakeknya segera berlari menemui kakeknya.
Namun tiba-tiba cucunya terjerembab, roboh terkapar dilantai bauh. Nek Jage merasa heran, mengapa cucunya eksklusif jatuh tersungkur, ia eksklusif mendekap cucunya. Namun cucunya sudah tidak bernyawa lagi. Ternyata yang mengakibatkan cucunya tidak bernyawa yaitu cahaya yang masih memancar dari kening Nek Jage.
Kulat itu masih melekat di dahi Nek Jage. Nek Jage sadar dengan hal itu, ia segera ingin melepaskan kulat yang melekat di dahinya, namun tidak bisa. Kulat itu sudah melekat dan menyatu dengan kulit dahinya Nek Jage. Kini badan cucunya si Maman terbujur kaku tidak bernyawa lagi di lantai bauh.
Melihat bencana yang sangat memilukan itu, Nek Jage menyerupai orang gila. Ia terus menarik-narik kulat yang melekat di dahinya. Namun usahanya sia-sia belaka.
“Kau telah membunuh cucuku!”, teriak Nek Jage menyerupai orang gila.
“Kau telah membunuh cucuku...”, ucap Nek Jage meratap.
Nek Jage sangat menyesal mengapa ia lupa melepas kulat kerang yang melekat di dahinya. Sehingga sinarnya yang mematikan itu menewaskan cucunya sendiri. Nek Jage terus mengamuk, beliau murka sejadi-jadinya.
Karena terlalu hebatnya beliau mengamuk, maka rumah pondok dan bauhnya roboh dan acak-acakan menjadi puing-puing dan rata dengan tanah. Tidak usang sehabis itu datanglah istri, anak dan menantunya. Mereka terkejut melihat rumah dan bauh mereka sudah rata dengan tanah. Apalagi sehabis mereka melihat si Maman sudah terbujur kaku tidak bernyawa.
“Apa yang telah terjadi, Pak ...!?”, tanya Amat anaknya.
“Ada apa, Pak ...!?” tambah menantunya si Minah.
“Apa yang terjadi, Nek Jage dengan cucu kita...? Mengapa beliau sanggup mati....!?” tanya istri Nek Jage sambil menggoncang-goncang badan Nek Jage.
Nek Jage hanya diam, beliau tidak sanggup berkata-kata. Hatinya lagi sedih dan pilu, hatinya bagaikan ditusuk-tusuk dengan sembilu. Nek Jage terus mengamuk, Nek Jage mengamuk sambil meraung-raung sesunggukan.
Nek Jage bagaikan orang yang lagi kemasukan Setan atau Jin. Dengan bencana menyerupai itu, semuanya menangis sedih, hati mereka telah hancur. mereka ikut mencicipi apa yang Nek Jage rasakan, sebab anak dan cucu kesayangan mereka sudah tiada. Dengan keadaan mereka yang menyerupai itu, yang lagi di rundung sedih lara.
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, angin berhebus kencang dan guntur menggelegar bersahut-sahutan di angkasa. Kilat menyambar-nyambar pohon yang ada di sekitar mereka, sehingga menjadi robohlah pohon-pohon itu. Semua pohon-pohon yang ada di sekitar mereka rata dengan tanah.
Sementara itu hujan turun dengan deras secara terus menerus mengakibatkan sungai Sebangkau meluap, dan batu-batu besar dari Gunung Pelanjau pun banyak yang bergulingan masuk ke dalam sungai Sebangkau. Nek Jage dan jago keluarganya terguling-guling ke dalam sungai Sebangkau.
Air sungai Sebangkau yang meluap telah menelan badan mereka sekeluarga. Pada ketika itu pula batu-batu besar bermunculan dari dalam sungai Sebangkau. Nek Jage dan jago keluarganya sudah menjadi batu. Semua itu yaitu undangan Nek Jage pada Dewata, dan Dewata pun mengabulkan permohonannya. Mereka semuanya dikutuk menjadi batu.
Kini kerikil Nek Jage terletak di tengah-tengah sungai Sebangkau di Kecamatan Tebas sekarang, yaitu di satu desa yang berjulukan desa Batu Mak Jage dusun Pelanjau. Batu-batu besar penjelmaan Nek Jage itulah yang sangat berbahaya bagi bahtera yang bermuatan kayu dari hutan di hulu sungai yang ingin membawa hasil mereka ke hilir. Banyak dari perahu-perahu itu yang telah tenggelam di sekitar kerikil Nek Jage tersebut. Sampai kini batu-batu itu masih ada sanggup kita jumpai.
*Disclaimer: Artikel diatas telah saya ketik ulang dari sebuah buku yang berjudul "Si Belanga dan Putri Raja" terbitan tahun 2011, Romeo Grafika Pontianak.
Cerita Rakyat Dayak Kabupaten Sambas "Batu Nek Jage", oleh masyarakat Melayu Sambas juga disebut Mak Jage.
Cerita Rakyat Dayak Kabupaten Sambas "Batu Nek Jage", oleh masyarakat Melayu Sambas juga disebut Mak Jage.
0 komentar:
Posting Komentar