Wisata Indonesia - Mempawah merupakan sebuah kota yang menjadi ibukota pemerintahan Kabupaten Mempawah dan terletak di jalur perdagangan antara Kota Pontianak, Kota Singkawang dan Kabupaten Sambas. Kota yang mempunyai julukan kota Bestari atau Bumi Galaherang ini banyak ditumbuhi oleh pohon Mempelam Paoh. Ternyata pohon yang berbuah menyerupai buah mangga ini mempunyai kisah sejarah yang erat kaitannya dengan asal-usul penamaan kota Mempawah.
Dalam catatan Ellyas Suryani Soren, seorang penulis buku SEJARAH MEMPAWAH Tempo Doeloe, dituliskan bahwa sejumlah sumber dari Mempawah Hulu menyampaikan Mempawah berasal dari kata ‘Buah Asam Paoh’, sementara sumber lain dari Mempawah Hilir menyebutkan bahwa Mempawah berasal dari kata ‘Mempelam Paoh’. Baik pohon maupun buah mempelam paoh ini dulunya banyak di temukan di sekitar kota Mempawah, tepatnya disela-sela pohon nipah, di daratan yang tidak jauh dari laut.
![]() |
Bujakng Mampauh (ilustrasi) || Photo by exo.photography_ |
Daripada ingin tau bagaimana kisah pohon Mempelam Paoh dibalik penamaan Kota Mempawah. Yuk dibaca dengan baik Cerita Rakyat Mempawah "Pucuk Mampauh" berikut ini.
Pada suatu hari di sebuah pedesaan yang terletak diantara rimba belantara. Di hutan Kalimantan Barat yang begitu hijau, tanahnya subur, dan di sana hiduplah beraneka binatang dan flora yang indah untuk dipandang bagi siapapun yang memandangnya. Di tanah subur itu hiduplah segolongan masyarakat yang sarat dan kental akan kebudayaan dan sopan santun istiadat. Di daerah itu hiduplah seorang perjaka tampan, rambutnya ikal berkilauan, dadanya bidang, rambutnya kuning langsat, tinggi, dan kekar serta gagah berani yang berjulukan Mampauh.
Pada suatu hari yang cerah, embun yang sejuk, diantara kicauan burung-burung yang bersaut-sautan seakan menyambut cerahnya pagi, terbangunlah sang perjaka dari tidurnya. Setelah terbangun ia duduk sejenak di pinggir rumahnya yang terbuat dari beberapa kayu dan dedaunan hutan. Beberapa ketika kemudian ia pun merasa lapar dan hendak mencari kuliner serta kayu bakar untuk memasak. la pun bergegas menggunakan pakaian dan membawa senjata perburuan yang ada.
Begitu ia keluar, ia pun disapa dengan ramahnya oleh tetangga-tetangganya dan belum dewasa kecil yang sedang bermain dengan asiknya. la tersenyum dan melanjutkan langkahnya seraya berkata semoga saya mendapat kayu bakar yang banyak hari ini untuk memasak. la pun terus melangkah menelusuri hutan yang rimbun itu. Kemudian sampailah ia di tengah hutan yang begitu banyak semak dan belukar, tetapi bagi perjaka yang gagah berani ini semak dan belukar hanyalah menyerupai padang rumput baginya.
Kemudian ia tebas pohon yang tidak begitu besar dan memotongnya menjadi kecil-kecil biar bisa untuk dibakar. la juga mengumpulkan kayu-kayu dan ranting pohon yang kering, yang acak-acakan di semak-semak. Pemuda itu pun merasa lelah dan hari sudah hampir larut, ia pun duduk sejenak di bawah pohon yang rindang sambil mengikat kayu yang ia kumpulkan. Tidak beberapa usang kemudian terdengar bunyi teriakan dari dalam semak yang tidak begitu jauh dari daerah perjaka itu beristirahat. Pemuda itu pun terkejut dan bergumam, beberapa ketika kemudian bunyi itu semakin keras. Dia pun beranjak dan masuk menyusuri semak-semak untuk mencari dimana bunyi ini berasal.
Ditengah perjalanan sang perjaka ini pun mencicipi bunyi bunyi tersebut semakin keras ditelinganya dan begitu lembut kolam bunyi seorang wanita. Sesampainya di semak tersebut alangkah terkejutnya sang perjaka ini, ia melihat seorang perempuan yang begitu elok jelita bersandar di sebuah pohon. Wanita itu sedang merintih kesakitan. Pemuda ini pun mencoba untuk mendekatinya. la ingin mengetahui apa yang sedang terjadi padanya. Begitu perjaka itu maju melangkahkan kakinya, wanitu tersebut eksklusif terkejut dan berkata.
“Siapa kau? jangan ganggu aku.”
“Aku pemburu di hutan ini, apa yang engkau lakukan di sini dan siapa namamu?” tanya Mampauh.
“Aku dikejar prajurit yang telah mengkhianatiku dari kerajaanku dan mereka hendak membunuhku, saya melarikan diri di hutan ini. Saat saya berlari saya tersandung dengan akar pohon yang begitu keras sehingga kakiku terluka,” terperinci sang putri.
“Maukah kamu mengikutiku, atau saya akan mencarikan obat untukmu?” tanya Mampauh lagi.
“Tidak, saya tidak pantas dibantu oleh rakyat jelata sepertimu, biarkan saya di sini,” kata putri itu dengan angkuhnya.
Mampauh itu pun terdiam, kemudian ia berkata, “Ayolah, hari sudah mulai larut, ikutlah denganku atau kautinggal di hutan ini sendirian, saya khawatir saja kalau kamu dimangsa binatang buas yang bisa mengoyak dan memangsamu dengan ganasnya.” Mampauh menakuti sang putri, putri yang mendengar hal itu pun eksklusif berdiri mendekatinya.
“Baiklah, saya akan mengikutimu, tapi ingat? Berjanjilah untuk mengembalikan saya ke kerajaanku,” kata sang putri dengan wajah yang menunjukkan keseriusan.”
“Baiklah,” jawab Mampauh sambil tersenyum.
Kemudian dipimpinnya sang putri itu dan ia pun pulang dengan kayu bakarnya beserta sang putri yang ditemukannya. Beberapa usang kemudian sampailah mereka di desa, daerah perjaka itu tinggal. Masuklah mereka ke desa itu, sang putri merasa takut dan berkata kepada perjaka itu, “Apa kamu yakin akan membawaku ke daerah ini!”
“Inilah daerah tinggalku,” ujar Mampauh.
Kemudian Mampauh pun mempersilakan sang putri masuk dan menyuruhnya beristirahat biar ia pulih kembali dan bisa pulang ke kerajaannya.
Sementara itu, Mampauh pergi untuk mandidan membersihkan diri, sehabis begitu lelah dan kotor ketika mencari kayu tadi.
Setelah beberapa ketika kemudian perjaka itu pun kembali dan membawa beberapa ikan hasil tangkapan yang ia dapat. Walaupun, hanya beberapa ekor tetapi cukuplah untuk disantap berdua.
“Apakah engkau lapar?” tanya Mampauh. “Tidak, saya tidak lapar,” jawab sang putri.
“Aku tahu engkau niscaya lapar, ini ada sedikit lauk dan akan saya bakar ikan ini untuk makan malam,” kata Mampauh.
“Apa? Cuma ikan saja, saya tidak bisa makan-makanan yang menyerupai ini saya seorang Putri,” terperinci sang putri.
“Sudahlah, bila engkau tak ingin hidup,” ujar Mampauh.
“Ya sudahlah, cepat bakar ikannya saya sudah lapar,” tegas sang putri.
Mampauh tersenyum dan berkata, “Katanya tidak lapar.”
Sang putri pun bengong dengan wajah yang menunjukkan rasa malu. Kemudian ikan pun dibakar dan mereka pun menyantapnya berdua di rumah gubuk sederhana itu dengan penuh canda dan tawa.
Setelah makan, sang perjaka pun mempersilakan sang putri untuk istirahat dan tidur diranjangnya kemudian perjaka pun keluar dan terjaga sepanjang malam untuk memastikan keadaan desa tetap aman. Keesokan harinya perjaka itu pun pergi ke tetua didesanya untuk menceritakan insiden yang telah ia alami.
Mendengar hal itu sang tetua pun berkata,
“Mengapa engkau lancang membawa seorang perempuan dari luartanpa seizin aku?”
“Maaf tetua, saya benar-benar kasihan dan tidak punya pilihan selain membawanya ke desa ini. Saya berjanji untuk membawanya pulang hari ini,” terperinci Mampauh.
“Baiklah. Aku mengizinkanmu untuk mengantarnya,” kata sang tetua menyetujui.
“Terima kasih,” jawab Mampauh.
Sang perjaka eksklusif meninggalkan gubuk menuju penginapan daerah sang putri menginap. Sesampainya di rumah dilihatnya sang putri tertidur kemudian perjaka pun berkata.
“Ayolah, akan kuantar kaupulang.”
Segera sang putri terbangun dan termenung sejenak, kemudian berkata, “Bagaimanakah kerajaanku? ayah serta ibuku,” ujar sang putri.
Pemuda bengong dan tak sanggup berkata apa-apa.
Setelah itu pergilah mereka berdua meninggalkan desa tersebut setapak demi setapak, langkah demi langkah hutan itu dilalui hingga sampailah di tengah hutan. Di situ sang putri tidak sengaja melihat sebuah bunga yang begitu indah, yang tidak ia temukan di istana. Bunga itu berada ditengah-tengah semak yang begitu rimbun dan setinggi dua hasta.
“Lihatlah, ada bunga yang bagus di sana,” ujar sang putri.
“lya, begitulah hutan kami semuanya indah, tetapi hutan ini begitu liar sehingga jarang ada yang selamat melewati hutan,” terperinci Mampauh.
Sang perjaka pun terus berkata dan menjelaskan. Namun, ketika ia melihat kebelakang sang putri telah meninggalkannya menuju bunga itu. Sang perjaka pun bicara dengan keras.
“Hey, jangan memasuki semak sembarangan, ini hutan liar bukan padang rumput,” teriak Mampauh.
Sang putri menjawab dengan bunyi keras dari kejauhan. “Biarlah, bagiku hutan ini tidak seliar dugaanku,” jawab sang putri dengan angkuhnya.
Putri itu pun menghampiri dan hendak mengambil bunga itu, ia amat senang ketika hendak memetik bunga tersebut. Namun, apalah dikata celaka mengintai sang putri, seekor ular kobra berukuran 19 kaki melintas di sekeliling bunga tersebut tetapi sang putri tidak menyadari.
Mampauh hanya menunggu di jalan hutan, menanti sang putri kembali dan mengambil bunga tersebut. Sudah sekian usang ia menunggu, tetapi sang putri belum juga kembali. Mampuh sangat khawatir dan pergi menyusuri semak daerah sang putri berada. Ketika hingga ia pun terkejut alasannya ialah sang putri sudah terbaring disemak dengan badan yang pucat dan setangkai bunga ada ditangannya. Sang perjaka pun eksklusif memegang tangan sang putri untuk memastikan putri masih hidup. Ternyata sang putri masih hidup dan Mampauh pun membatalkan niatnya untuk mengantar putri kembali, digendongnya sang putri tersebut kemudian dibawanya pulang kembali ke desanya untuk diobati.
Hari mulai gelap, kunang-kunang beterbangan menerangi jalan mereka pulang. Sesampainya di rumah, putri pun dibaringkan di atas ranjang kemudian Mampauh pergi ketetangga erat yang merupakan hebat dalam meramu obat-obatan herbal. Tetangga itu berjulukan Marumbu, pergilah Mampauh ke rumah Marumbu untuk mencari obat yang ia butuhkan.
“Marumbu…marumbu,” teriak Mampauh sambil mengetok pintu rumah Marumbu. Marumbu pun membuka pintu dan berkata, “Ada apa engkau kemari?”
“Temanku terluka, saya butuh obat yang sanggup menyembuhkannya,” kata Mampauh.
“Sakit apa yang temanmu derita?” tanya Marumbu.
“la dipatok ular, dibagian tangan kanannya,” jawab Mampauh.
Marumbu membisu sejenak, ia pun berkata, “Aku tidak ada obatnya.”
“Bagaimana bisa, engkau seorang peramu yang hebat di desa ini,” jawab Mampauh.
“Tapi saya kehabisan obat itu, obat itu sulit dicari,” ujar Marumbu.
“Kira-kira dimana obat itu berada?” tanya Mampauh.
“Obat itu terdapat di hilir sungai, di sebuah perkampungan yang saya tidak tahu nama kampung itu dan ia berada kampung luar yang erat dengan laut. Pergilah bila engkau ingin menyelamatkannya,” terperinci Marumbu.
“Baiklah, saya akan pergi dan membawa putri itu bersamaku esok hari,” seru Mampauh.
Pulanglah Mampauh ini dengan rasa cemas, sesampainya di rumah ia pun menghampiri sang putri dan berkata, “Bagaimanakah saya akan mengembalikan sang putri ini kekerajaannya!”
Beberapa ketika kemudian ada seseorang lewat di depan rumah perjaka ini, ia berjulukan Majinggo Saranguak. la pun berhenti dan mendengarkan sejenak apa yang perjaka itu ucapkan secara belakang layar tanpa Mampauh sadari.
“Aku harus mengembalikan putri serantau ini,” seru Mampauh.
Mendengar tuturan Mampauh, Majinggo pun terkejut. la bergegas pergi melapor kepada ketua bahwa sang putri yang ada di rumah Mampauh merupakan putri raja yang musuh turun-temurun dengan suku Malingko.
“Tetua, ada kabar menarik,” ujar Majinggo. “Apa itu?” tanya tetua.
Majinggo pun menjelaskan, “Mampauh sudah berani membawa seorang putri, Tetua.”
“Aku sudah tahu hal itu, saya mengizinkan hal tersebut”
“Tapi sang putri yang dibawanya itu keturunan kerajaan Serantau tetua!” seru Majinggo.
“Apa?” sahut tetua dengan bunyi lantang. “Apakau yakin hal itu?” tanya tetua lagi.
“la tetua saya yakin akan hal itu, saya mendengar hal tersebut dengan kepala dan indera pendengaran saya sendiri,” ujar Majinggo.
“Kurang latih (menggerutu) berani-beraninya ia mengkhianati kita, siapkan 1000 orang pasukan bersenjata untuk membunuh Mampauh esok hari,” perintah tetua kepada Majinggo.
“Baik tetua,” sahut Majinggo dengan tersenyum dan berkata dalam hati mampuslah kamu Mampauh.
Petir pun bergelegar di langit yang hitam disertai dengan hujan yang begitu deras mengguyur hutan dan pedesaan. Tepat pada subuh hari sang tetua pun mengerahkan 1000 pasukan elite bersumpit yang telah diolesi racun dari kalajengking hutan untuk memergok kediaman Mampauh. Mempauh sempat terbangun dari tidurnya alasannya ialah ia ingin buang air kecil, sehabis buang air Mampauh pun keheranan alasannya ialah ada sesuatu yang sangat terang menyerupai obor api yang kian mendekat kerumahnya. Instingnya menyampaikan kalau ada sesuatu yang tidak beres, ia pun segera naik kerumah dan mengambil busur serta pisau belatinya dan menggendong sang putri memasuki hutan untuk melarikan diri.
Beberapa usang kemudian sampailah pasukan yang 1000 orang tersebut di depan rumah Mampauh. Sesampainya pasukan tersebut, mereka eksklusif melemparkan obor api ke atas rumah Mampauh dan meniupkan beberapa sumpit untuk memastikan Mampauh dan sang putri mati terbunuh. Ternyata salah satu dari pasukan melihat telapak kaki di atas tanah yang mengarah ke hutan, ia pun berteriak
“Mampauh lari kehutan, ia telah mengkhianati kita.”
Tetua pun menjawab, “Bunuh mereka berdua, kejar mereka.”
“Akan kubakar ia bila berhasil ditangkap,” teriak sang tetua lagi.
“Ayooo,” teriak pasukan ketika hendak memasuki hutan.
Pasukan pun masuk ke hutan dan mengejar Mampauh dan putri yang sedang sakit.
Sementara itu, langit mulai gelap, petir pun memecah sunyi. Titik air hujan pun turun dengan lebatnya sehingga pasukan kesulitan melihat jejak Mampauh alasannya ialah penerangan mereka padam terkena air. Mampauh yang sedang berlari pun berhenti sejenak alasannya ialah hujan. Sementara para pasukan semakin dekat.
Akhirnya, salah satu regu pasukan pun menemukan Mampauh yang sedang beristirahat. Pasukan tersebut pun berkumpul dan hendak memanah Mampauh. Ketika salah satu dari mereka hendak memanah, Mampauh pun berdiri dan hendak melanjutkan perjalanan. Ketika Mampauh hendak melangkah, tertancaplah sebuah panah sempurna dipohon.
Mampauh pun melihat kebelakang ternyata pasukannya sudah siap memanah. la pun eksklusif berlari tanpa henti dan pasukan pun juga mengikutinya. Beberapa usang ia berlari, risikonya ia hingga di pantai erat dengan pinggir hutan. Di situ terdapat bahtera bambu, ia pun bergegas menyusuri bahtera tersebut. Mampauh kemudian meletakkan putri di atas perahu. Ketika hendak mendorong bahtera tersebut ke pinggir ia dipanah oleh seorang pasukan. Panah tersebut mengenai sempurna diperutnya sehinggai mengenai usus. Namun, Mampauh terus mendorong bahtera tersebut hingga risikonya ia lolos melarikan diri dan berlabuh ke sebuah kampung untuk mencari obat yang ia butuhkan untuk sang putri.
Sesampainya di hilir sungai Mampauh melihat banyak prajurit kerajaan berjaga-jaga, iapun berlabuh dipinggir hilir sungai, ketika ia turun ia menemukan sepucuk daun. Mampauh kemudian mengambilnya dan ia tempelkan daun tersebut keluka jawaban bacokan panah tersebut. Alangkah terkejutnya Mampauh, seketika ia mencicipi bahwa lukanya sembuh dan tidak terasa lagi. Kemudian ia mendengarada bunyi gemuruh di laut, ternyata pasukannya menemukannya. Mampauh pun mengambil setangkai pucuk kemudian ia pun pergi kekerajaan untuk mengantarkan sang putri.
Setibanya di kerajaan, ia pun diizinkan masuk dengan keadaan menyamar alasannya ialah bila kerajaan tahu maka ia akan dibunuh. la pun menemui raja.
“Wahai raja, saya menemukan putrimu terluka di hutan kemudian kubawa ia ke sini.”
“Siapa namamu?” tanya raja. “Namaku Mampauh?” jawabnya.
“Pucuk apa yang engkau bawa?” tanya raja lagi.
“Ini obat yang kuambil untuk menyembuhkan penyakit yang diderita sang putri,” jawab Mampauh.
Tidak usang kemudian datanglah prajurit yang melapor, “Ampun tuanku ada sekitar seribu pasukan Dayak menyerbu kita.”
Seketika itu pun raja curiga kepada Mampauh dan berkata, “Siapkan pasukan dan hancurkan pasukan Dayak itu.
Mampauh pun mengatakan, “Jangan mereka bagianku.”
“Ternyata engkau musuh kami, bunuh perjaka ini,” perintah raja kepada prajuritnya.
“Baiklah, tapi saya mohon berikan pucuk ini kepada putrimu,” ujar Mampauh.
Baru selesai Mampauh itu berkata, ia pun eksklusif diterkam dengan pedang prajurit dari belakang dan sempurna mengenai jantungnya. Mampuah itu pun tersungkur dan pucuk yang ia pegang terjatuh di erat sang putri. Malang nian nasib Mampauh ini. Sang raja pun memerintahkan seorang tabib untuk mengobati putrinya dengan obat itu. Setelah beberapa ketika putri pun terbangun dan eksklusif berpelukan dangan ayahnya. la pun terkejut melihat perjaka yang membantunya mati dihadapannya. Sambil menangis sang putri pun menceritakan semua kepada ayahnya bahwa perjaka itulah yang telah berkorban membawanya kemari dan menyelamatkan hidupnya. Sang raja pun terharu mendengar hal itu dan meratapi perbuatannya. Sementara itu pasukan Dayak pun habis terbunuh oleh pasukan kerajaan.
Keesokan harinya raja pun mengumpulkan para pemuka dan membicarakan insiden yang dialami putrinya. Untuk mengenang jasa perjaka tersebut ia pun mengangkat sebuah pucuk yang ia namai Pucuk Mampauh alasannya ialah pucuk ini telah menyelamatkan sang putri oleh pertolongan seorang perjaka yang berjulukan Mampauh. Akhirnya, kerajaan pun kembali kondusif dan putri pun sudah senang dengan hidupnya. Karena pucuk pohon mampauh banyak hidup dihilir sungai kerajaannya, raja pun menyebut kerajaan ini dengan sebutan Kerajaan Mampauh. Seiring berjalannya waktu lama-kelamaan kata Mampauh lebih dikenal dengan nama Kerajaan Mempawah, yang kemudian menjadi kota yang kita kenal hingga ketika ini yang namanya berasal dari seorang perjaka pemberani berjulukan Mampauh.
Pada suatu hari yang cerah, embun yang sejuk, diantara kicauan burung-burung yang bersaut-sautan seakan menyambut cerahnya pagi, terbangunlah sang perjaka dari tidurnya. Setelah terbangun ia duduk sejenak di pinggir rumahnya yang terbuat dari beberapa kayu dan dedaunan hutan. Beberapa ketika kemudian ia pun merasa lapar dan hendak mencari kuliner serta kayu bakar untuk memasak. la pun bergegas menggunakan pakaian dan membawa senjata perburuan yang ada.
Begitu ia keluar, ia pun disapa dengan ramahnya oleh tetangga-tetangganya dan belum dewasa kecil yang sedang bermain dengan asiknya. la tersenyum dan melanjutkan langkahnya seraya berkata semoga saya mendapat kayu bakar yang banyak hari ini untuk memasak. la pun terus melangkah menelusuri hutan yang rimbun itu. Kemudian sampailah ia di tengah hutan yang begitu banyak semak dan belukar, tetapi bagi perjaka yang gagah berani ini semak dan belukar hanyalah menyerupai padang rumput baginya.
Kemudian ia tebas pohon yang tidak begitu besar dan memotongnya menjadi kecil-kecil biar bisa untuk dibakar. la juga mengumpulkan kayu-kayu dan ranting pohon yang kering, yang acak-acakan di semak-semak. Pemuda itu pun merasa lelah dan hari sudah hampir larut, ia pun duduk sejenak di bawah pohon yang rindang sambil mengikat kayu yang ia kumpulkan. Tidak beberapa usang kemudian terdengar bunyi teriakan dari dalam semak yang tidak begitu jauh dari daerah perjaka itu beristirahat. Pemuda itu pun terkejut dan bergumam, beberapa ketika kemudian bunyi itu semakin keras. Dia pun beranjak dan masuk menyusuri semak-semak untuk mencari dimana bunyi ini berasal.
Ditengah perjalanan sang perjaka ini pun mencicipi bunyi bunyi tersebut semakin keras ditelinganya dan begitu lembut kolam bunyi seorang wanita. Sesampainya di semak tersebut alangkah terkejutnya sang perjaka ini, ia melihat seorang perempuan yang begitu elok jelita bersandar di sebuah pohon. Wanita itu sedang merintih kesakitan. Pemuda ini pun mencoba untuk mendekatinya. la ingin mengetahui apa yang sedang terjadi padanya. Begitu perjaka itu maju melangkahkan kakinya, wanitu tersebut eksklusif terkejut dan berkata.
“Siapa kau? jangan ganggu aku.”
“Aku pemburu di hutan ini, apa yang engkau lakukan di sini dan siapa namamu?” tanya Mampauh.
“Aku dikejar prajurit yang telah mengkhianatiku dari kerajaanku dan mereka hendak membunuhku, saya melarikan diri di hutan ini. Saat saya berlari saya tersandung dengan akar pohon yang begitu keras sehingga kakiku terluka,” terperinci sang putri.
“Maukah kamu mengikutiku, atau saya akan mencarikan obat untukmu?” tanya Mampauh lagi.
“Tidak, saya tidak pantas dibantu oleh rakyat jelata sepertimu, biarkan saya di sini,” kata putri itu dengan angkuhnya.
Mampauh itu pun terdiam, kemudian ia berkata, “Ayolah, hari sudah mulai larut, ikutlah denganku atau kautinggal di hutan ini sendirian, saya khawatir saja kalau kamu dimangsa binatang buas yang bisa mengoyak dan memangsamu dengan ganasnya.” Mampauh menakuti sang putri, putri yang mendengar hal itu pun eksklusif berdiri mendekatinya.
“Baiklah, saya akan mengikutimu, tapi ingat? Berjanjilah untuk mengembalikan saya ke kerajaanku,” kata sang putri dengan wajah yang menunjukkan keseriusan.”
“Baiklah,” jawab Mampauh sambil tersenyum.
Kemudian dipimpinnya sang putri itu dan ia pun pulang dengan kayu bakarnya beserta sang putri yang ditemukannya. Beberapa usang kemudian sampailah mereka di desa, daerah perjaka itu tinggal. Masuklah mereka ke desa itu, sang putri merasa takut dan berkata kepada perjaka itu, “Apa kamu yakin akan membawaku ke daerah ini!”
“Inilah daerah tinggalku,” ujar Mampauh.
Kemudian Mampauh pun mempersilakan sang putri masuk dan menyuruhnya beristirahat biar ia pulih kembali dan bisa pulang ke kerajaannya.
Sementara itu, Mampauh pergi untuk mandidan membersihkan diri, sehabis begitu lelah dan kotor ketika mencari kayu tadi.
Setelah beberapa ketika kemudian perjaka itu pun kembali dan membawa beberapa ikan hasil tangkapan yang ia dapat. Walaupun, hanya beberapa ekor tetapi cukuplah untuk disantap berdua.
“Apakah engkau lapar?” tanya Mampauh. “Tidak, saya tidak lapar,” jawab sang putri.
“Aku tahu engkau niscaya lapar, ini ada sedikit lauk dan akan saya bakar ikan ini untuk makan malam,” kata Mampauh.
“Apa? Cuma ikan saja, saya tidak bisa makan-makanan yang menyerupai ini saya seorang Putri,” terperinci sang putri.
“Sudahlah, bila engkau tak ingin hidup,” ujar Mampauh.
“Ya sudahlah, cepat bakar ikannya saya sudah lapar,” tegas sang putri.
Mampauh tersenyum dan berkata, “Katanya tidak lapar.”
Sang putri pun bengong dengan wajah yang menunjukkan rasa malu. Kemudian ikan pun dibakar dan mereka pun menyantapnya berdua di rumah gubuk sederhana itu dengan penuh canda dan tawa.
Setelah makan, sang perjaka pun mempersilakan sang putri untuk istirahat dan tidur diranjangnya kemudian perjaka pun keluar dan terjaga sepanjang malam untuk memastikan keadaan desa tetap aman. Keesokan harinya perjaka itu pun pergi ke tetua didesanya untuk menceritakan insiden yang telah ia alami.
Mendengar hal itu sang tetua pun berkata,
“Mengapa engkau lancang membawa seorang perempuan dari luartanpa seizin aku?”
“Maaf tetua, saya benar-benar kasihan dan tidak punya pilihan selain membawanya ke desa ini. Saya berjanji untuk membawanya pulang hari ini,” terperinci Mampauh.
“Baiklah. Aku mengizinkanmu untuk mengantarnya,” kata sang tetua menyetujui.
“Terima kasih,” jawab Mampauh.
Sang perjaka eksklusif meninggalkan gubuk menuju penginapan daerah sang putri menginap. Sesampainya di rumah dilihatnya sang putri tertidur kemudian perjaka pun berkata.
“Ayolah, akan kuantar kaupulang.”
Segera sang putri terbangun dan termenung sejenak, kemudian berkata, “Bagaimanakah kerajaanku? ayah serta ibuku,” ujar sang putri.
Pemuda bengong dan tak sanggup berkata apa-apa.
Setelah itu pergilah mereka berdua meninggalkan desa tersebut setapak demi setapak, langkah demi langkah hutan itu dilalui hingga sampailah di tengah hutan. Di situ sang putri tidak sengaja melihat sebuah bunga yang begitu indah, yang tidak ia temukan di istana. Bunga itu berada ditengah-tengah semak yang begitu rimbun dan setinggi dua hasta.
“Lihatlah, ada bunga yang bagus di sana,” ujar sang putri.
“lya, begitulah hutan kami semuanya indah, tetapi hutan ini begitu liar sehingga jarang ada yang selamat melewati hutan,” terperinci Mampauh.
Sang perjaka pun terus berkata dan menjelaskan. Namun, ketika ia melihat kebelakang sang putri telah meninggalkannya menuju bunga itu. Sang perjaka pun bicara dengan keras.
“Hey, jangan memasuki semak sembarangan, ini hutan liar bukan padang rumput,” teriak Mampauh.
Sang putri menjawab dengan bunyi keras dari kejauhan. “Biarlah, bagiku hutan ini tidak seliar dugaanku,” jawab sang putri dengan angkuhnya.
Putri itu pun menghampiri dan hendak mengambil bunga itu, ia amat senang ketika hendak memetik bunga tersebut. Namun, apalah dikata celaka mengintai sang putri, seekor ular kobra berukuran 19 kaki melintas di sekeliling bunga tersebut tetapi sang putri tidak menyadari.
Mampauh hanya menunggu di jalan hutan, menanti sang putri kembali dan mengambil bunga tersebut. Sudah sekian usang ia menunggu, tetapi sang putri belum juga kembali. Mampuh sangat khawatir dan pergi menyusuri semak daerah sang putri berada. Ketika hingga ia pun terkejut alasannya ialah sang putri sudah terbaring disemak dengan badan yang pucat dan setangkai bunga ada ditangannya. Sang perjaka pun eksklusif memegang tangan sang putri untuk memastikan putri masih hidup. Ternyata sang putri masih hidup dan Mampauh pun membatalkan niatnya untuk mengantar putri kembali, digendongnya sang putri tersebut kemudian dibawanya pulang kembali ke desanya untuk diobati.
Hari mulai gelap, kunang-kunang beterbangan menerangi jalan mereka pulang. Sesampainya di rumah, putri pun dibaringkan di atas ranjang kemudian Mampauh pergi ketetangga erat yang merupakan hebat dalam meramu obat-obatan herbal. Tetangga itu berjulukan Marumbu, pergilah Mampauh ke rumah Marumbu untuk mencari obat yang ia butuhkan.
“Marumbu…marumbu,” teriak Mampauh sambil mengetok pintu rumah Marumbu. Marumbu pun membuka pintu dan berkata, “Ada apa engkau kemari?”
“Temanku terluka, saya butuh obat yang sanggup menyembuhkannya,” kata Mampauh.
“Sakit apa yang temanmu derita?” tanya Marumbu.
“la dipatok ular, dibagian tangan kanannya,” jawab Mampauh.
Marumbu membisu sejenak, ia pun berkata, “Aku tidak ada obatnya.”
“Bagaimana bisa, engkau seorang peramu yang hebat di desa ini,” jawab Mampauh.
“Tapi saya kehabisan obat itu, obat itu sulit dicari,” ujar Marumbu.
“Kira-kira dimana obat itu berada?” tanya Mampauh.
“Obat itu terdapat di hilir sungai, di sebuah perkampungan yang saya tidak tahu nama kampung itu dan ia berada kampung luar yang erat dengan laut. Pergilah bila engkau ingin menyelamatkannya,” terperinci Marumbu.
“Baiklah, saya akan pergi dan membawa putri itu bersamaku esok hari,” seru Mampauh.
Pulanglah Mampauh ini dengan rasa cemas, sesampainya di rumah ia pun menghampiri sang putri dan berkata, “Bagaimanakah saya akan mengembalikan sang putri ini kekerajaannya!”
Beberapa ketika kemudian ada seseorang lewat di depan rumah perjaka ini, ia berjulukan Majinggo Saranguak. la pun berhenti dan mendengarkan sejenak apa yang perjaka itu ucapkan secara belakang layar tanpa Mampauh sadari.
“Aku harus mengembalikan putri serantau ini,” seru Mampauh.
Mendengar tuturan Mampauh, Majinggo pun terkejut. la bergegas pergi melapor kepada ketua bahwa sang putri yang ada di rumah Mampauh merupakan putri raja yang musuh turun-temurun dengan suku Malingko.
“Tetua, ada kabar menarik,” ujar Majinggo. “Apa itu?” tanya tetua.
Majinggo pun menjelaskan, “Mampauh sudah berani membawa seorang putri, Tetua.”
“Aku sudah tahu hal itu, saya mengizinkan hal tersebut”
“Tapi sang putri yang dibawanya itu keturunan kerajaan Serantau tetua!” seru Majinggo.
“Apa?” sahut tetua dengan bunyi lantang. “Apakau yakin hal itu?” tanya tetua lagi.
“la tetua saya yakin akan hal itu, saya mendengar hal tersebut dengan kepala dan indera pendengaran saya sendiri,” ujar Majinggo.
“Kurang latih (menggerutu) berani-beraninya ia mengkhianati kita, siapkan 1000 orang pasukan bersenjata untuk membunuh Mampauh esok hari,” perintah tetua kepada Majinggo.
“Baik tetua,” sahut Majinggo dengan tersenyum dan berkata dalam hati mampuslah kamu Mampauh.
Petir pun bergelegar di langit yang hitam disertai dengan hujan yang begitu deras mengguyur hutan dan pedesaan. Tepat pada subuh hari sang tetua pun mengerahkan 1000 pasukan elite bersumpit yang telah diolesi racun dari kalajengking hutan untuk memergok kediaman Mampauh. Mempauh sempat terbangun dari tidurnya alasannya ialah ia ingin buang air kecil, sehabis buang air Mampauh pun keheranan alasannya ialah ada sesuatu yang sangat terang menyerupai obor api yang kian mendekat kerumahnya. Instingnya menyampaikan kalau ada sesuatu yang tidak beres, ia pun segera naik kerumah dan mengambil busur serta pisau belatinya dan menggendong sang putri memasuki hutan untuk melarikan diri.
Beberapa usang kemudian sampailah pasukan yang 1000 orang tersebut di depan rumah Mampauh. Sesampainya pasukan tersebut, mereka eksklusif melemparkan obor api ke atas rumah Mampauh dan meniupkan beberapa sumpit untuk memastikan Mampauh dan sang putri mati terbunuh. Ternyata salah satu dari pasukan melihat telapak kaki di atas tanah yang mengarah ke hutan, ia pun berteriak
“Mampauh lari kehutan, ia telah mengkhianati kita.”
Tetua pun menjawab, “Bunuh mereka berdua, kejar mereka.”
“Akan kubakar ia bila berhasil ditangkap,” teriak sang tetua lagi.
“Ayooo,” teriak pasukan ketika hendak memasuki hutan.
Pasukan pun masuk ke hutan dan mengejar Mampauh dan putri yang sedang sakit.
Sementara itu, langit mulai gelap, petir pun memecah sunyi. Titik air hujan pun turun dengan lebatnya sehingga pasukan kesulitan melihat jejak Mampauh alasannya ialah penerangan mereka padam terkena air. Mampauh yang sedang berlari pun berhenti sejenak alasannya ialah hujan. Sementara para pasukan semakin dekat.
Akhirnya, salah satu regu pasukan pun menemukan Mampauh yang sedang beristirahat. Pasukan tersebut pun berkumpul dan hendak memanah Mampauh. Ketika salah satu dari mereka hendak memanah, Mampauh pun berdiri dan hendak melanjutkan perjalanan. Ketika Mampauh hendak melangkah, tertancaplah sebuah panah sempurna dipohon.
Mampauh pun melihat kebelakang ternyata pasukannya sudah siap memanah. la pun eksklusif berlari tanpa henti dan pasukan pun juga mengikutinya. Beberapa usang ia berlari, risikonya ia hingga di pantai erat dengan pinggir hutan. Di situ terdapat bahtera bambu, ia pun bergegas menyusuri bahtera tersebut. Mampauh kemudian meletakkan putri di atas perahu. Ketika hendak mendorong bahtera tersebut ke pinggir ia dipanah oleh seorang pasukan. Panah tersebut mengenai sempurna diperutnya sehinggai mengenai usus. Namun, Mampauh terus mendorong bahtera tersebut hingga risikonya ia lolos melarikan diri dan berlabuh ke sebuah kampung untuk mencari obat yang ia butuhkan untuk sang putri.
Sesampainya di hilir sungai Mampauh melihat banyak prajurit kerajaan berjaga-jaga, iapun berlabuh dipinggir hilir sungai, ketika ia turun ia menemukan sepucuk daun. Mampauh kemudian mengambilnya dan ia tempelkan daun tersebut keluka jawaban bacokan panah tersebut. Alangkah terkejutnya Mampauh, seketika ia mencicipi bahwa lukanya sembuh dan tidak terasa lagi. Kemudian ia mendengarada bunyi gemuruh di laut, ternyata pasukannya menemukannya. Mampauh pun mengambil setangkai pucuk kemudian ia pun pergi kekerajaan untuk mengantarkan sang putri.
Setibanya di kerajaan, ia pun diizinkan masuk dengan keadaan menyamar alasannya ialah bila kerajaan tahu maka ia akan dibunuh. la pun menemui raja.
“Wahai raja, saya menemukan putrimu terluka di hutan kemudian kubawa ia ke sini.”
“Siapa namamu?” tanya raja. “Namaku Mampauh?” jawabnya.
“Pucuk apa yang engkau bawa?” tanya raja lagi.
“Ini obat yang kuambil untuk menyembuhkan penyakit yang diderita sang putri,” jawab Mampauh.
Tidak usang kemudian datanglah prajurit yang melapor, “Ampun tuanku ada sekitar seribu pasukan Dayak menyerbu kita.”
Seketika itu pun raja curiga kepada Mampauh dan berkata, “Siapkan pasukan dan hancurkan pasukan Dayak itu.
Mampauh pun mengatakan, “Jangan mereka bagianku.”
“Ternyata engkau musuh kami, bunuh perjaka ini,” perintah raja kepada prajuritnya.
“Baiklah, tapi saya mohon berikan pucuk ini kepada putrimu,” ujar Mampauh.
Baru selesai Mampauh itu berkata, ia pun eksklusif diterkam dengan pedang prajurit dari belakang dan sempurna mengenai jantungnya. Mampuah itu pun tersungkur dan pucuk yang ia pegang terjatuh di erat sang putri. Malang nian nasib Mampauh ini. Sang raja pun memerintahkan seorang tabib untuk mengobati putrinya dengan obat itu. Setelah beberapa ketika putri pun terbangun dan eksklusif berpelukan dangan ayahnya. la pun terkejut melihat perjaka yang membantunya mati dihadapannya. Sambil menangis sang putri pun menceritakan semua kepada ayahnya bahwa perjaka itulah yang telah berkorban membawanya kemari dan menyelamatkan hidupnya. Sang raja pun terharu mendengar hal itu dan meratapi perbuatannya. Sementara itu pasukan Dayak pun habis terbunuh oleh pasukan kerajaan.
Keesokan harinya raja pun mengumpulkan para pemuka dan membicarakan insiden yang dialami putrinya. Untuk mengenang jasa perjaka tersebut ia pun mengangkat sebuah pucuk yang ia namai Pucuk Mampauh alasannya ialah pucuk ini telah menyelamatkan sang putri oleh pertolongan seorang perjaka yang berjulukan Mampauh. Akhirnya, kerajaan pun kembali kondusif dan putri pun sudah senang dengan hidupnya. Karena pucuk pohon mampauh banyak hidup dihilir sungai kerajaannya, raja pun menyebut kerajaan ini dengan sebutan Kerajaan Mampauh. Seiring berjalannya waktu lama-kelamaan kata Mampauh lebih dikenal dengan nama Kerajaan Mempawah, yang kemudian menjadi kota yang kita kenal hingga ketika ini yang namanya berasal dari seorang perjaka pemberani berjulukan Mampauh.
Pengarang | Ade Wirawan, dkk |
---|---|
Judul | Pucuk Mampauh : Antologi Cerita Rakyat Mempawah |
Edisi/Cet. | Cet. 2, Oktober 2016 |
Impresum | Pontianak, Balai Bahasa Kalimantan Barat, 2016 |
Kolasi | ix, 165 hlm.; 21 cm |
ISBN | 978-979-069-178-0 |
0 komentar:
Posting Komentar