Wisata Indonesia - Kota Singkawang atau San Keuw Jong merupakan sebuah kawasan pecinan di Kalimantan Barat yang berstatus kota, dimana lebih banyak didominasi penduduknya yakni orang Tionghoa Hakka (dengan persentase sekitar 42%). Kota Singkawang terletak sekitar 145 km sebelah utara dari Kota Pontianak, ibukota provinsi Kalimantan Barat. Kota yang dulunya bekas ibukota pemerintahan Kabupaten Sambas ini dikenal sebagai kota pariwisata. Banyak tempat wisata bisa ditemukan di kota ini, mulai dari wisata alamnya yang lengkap hingga wisata sejarahnya.
Kota Singkawang yang menyimpan banyak dongeng sejarah zaman dahulu tidak hanya mempunyai keindahan panorama pada setiap tempat wisatanya. Kota ini mempunyai tempat yang bernilai sejarah. Salah satu tempat bersejarah yakni rumah keluarga Tjhia (Marga Xie) dengan luas 5300 meter persegi. Rumah Tua ini masih berdiri kokoh di sentra kota Singkawang, segala perabotan dan desainnya masih dipertahankan hingga sekarang. Selain itu, rumah legendaris ini juga diklaim sebagai rumah tertua di kota Singkawang oleh masyarakat setempat.
Berikut yakni sepotong kisah yang akan membawa kita flashback ke masa kemudian dimana awal berdirinya rumah bau tanah marga Tjhia (Xie) di sentra kota Singkawang, tepatnya di Jalan Budi Utomo No. 36, yuk simak baik-baik kisahnya.
Pada masa ke-20, hiduplah seorang warga Cina yang berjulukan Tjhia Hiap Shin. la merantau ke Kalimantan untuk berdagang sekaligus mencari pekerjaan. la berlayar ke Pulau Kalimantan sebab banyak warga yang bermigrasi ke Kalimantan kemudian pulang dengan membawa hasil yang sangat memuaskan.
Bahkan, ada warga mereka yang menetap di Kalimantan sebab kehidupan perekonomian yang mereka anggap terjamin. Setelah tiba di Pulau Kalimantan, ia menuju Singkawang yang merupakan salah satu sentra jalur perdagangan pada masa itu. Di sana ia berbisnis dan mencari tempat tinggal seadanya.
Setelah beberapa waktu berlalu bisnis yang ia geluti kalah oleh harga pasar sehingga kesannya ia bangkrut. la pun berusaha mencari pekerjaan untuk modal membuka perjuangan kembali. Namun, sebulan berlalu Hiap Shin belum juga mendapatkan pekerjaan. Pada suatu hari ia berkeliling Kota Singkawang dengan maksud untuk mencari pekerjaan ibarat biasanya.
Selama tiga hari ia mencari pekerjaan, tetapi hanya rasa kecewa yang ia dapatkan. Dengan langkah gontai ia berjalan dan terus berjalan hingga suatu ketika ia terkejut dengan bunyi teriakan yang memanggilnya dengan nama panggilan kesehariannya.
“Shin… oi… Shin… kha hi Shin...,” teriak seseorang sambil setengah berlari menuju tempat Hiap Shin berdiri. Hiap Shin pun menoleh ke belakangnya mencari sumber panggilan tersebut.
Hiap Shin berkata, “Oh Afhui.. Thomae na?” Saat mengenali orang yang telah memanggil namanya, orang tersebut berpakaian cukup rapi menggunakan sepatu yang necis, rambutnya mengkilap sebab minyak rambut, dan berbau wangi yang berasal dari parfum mahal. Tampaknya ia sangat memperhatikan dan menjaga penampilannya, yang niscaya orang tersebut tidak berpakaian ibarat dirinya.
“lya ini aku, kau apa kabar? Aku takut tadi saya salah orang, ternyata benar ini kamu,” kata orang tersebut.
“Aku baik-baik saja, Fhui. Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Hiap Shin.
“Justru saya yang harusnya bertanya. Kenapa kau bisa ada di sini?” Afhui balik bertanya.
“A…a…aku cuma….,” Hiap Shin tergagap.
“Kau mencari pekerjaan ya?” tanya Afhui spontan, ia berusaha menebak apa yang sedang temannya itu lakukan.
“Huf, iya Fhui. Aku sedang mencari pekerjaan kini ,tetapi saya selalu saja ditolak,” jawab Hiap Shin dengan nada murung.
“Ah, kau ini kenapa tidak bilang-bilang dulu. Sudahlah, Mari ikut aku!” ajak Afhui sembari menarik tangan Hiap Shin.
“Kita mau kemana?” tanya Hiap Shin bingung.
“Kau mau pekerjaan bukan?” tanya Afhui lagi.
“Tentu saja saya mau,” jawab Hiap Shin.
“Kalau begitu kau ikut aku, akan saya kenalkan dengan seseorang yang akan mempekerjakanmu,” kata Afhui menunjukan maksudnya.
Tak berapa usang sampailah mereka di sebuah toko sembako, tempat berniaga para pedagang untuk memasarkan barang dagangan mereka. Keadaan di toko sembako tersebut terlihat begitu hiruk pikuk dikarenakan para pekerja yang terlihat begitu sibuk kemudian lalang, ada yang sedang menimbang beras dan tepung, ada yang sibuk membersihkan tempat dedag (makanan unggas), dan banyak pekerjaan lainnya.
Semua pekerjaan itu terlihat sangat melelahkan dan menyibukkan. Namun, ia melihat seorang laki-laki paruh baya yang terlihat begitu damai sambil menghisap rokok yang berada ditangannya. Pria tersebut terlihat begitu santai sambil sesekali memerintah para pekerjanya.
“Nah, kini sudah sampai, ayo!” Afhui mengagetkan dan menarik tangan Hiap Shin yang terkesima melihat kesibukan di toko sembako tersebut, menuju laki-laki bau tanah yang sedang asyik mengamati.
“Halo Kho, apa kabar?” sapa Afhui ramah kepada laki-laki tersebut.
“Oh Afhui, ada apa kau di sini?” tanya laki-laki bau tanah itu.
“Ini Kho saya bawa sahabat saya, katanya ia mau cari kerja, Kho,” jawab Afhui.
“Oh..mau kerja? Ada…ada, kau siapa punya nama?” tanya laki-laki bau tanah tersebut dengan tutur bahasa Indonesia yang terbolak-balik.
“S…s..saya Kho? Saya punya nama Hiap Shin, Kho, Tjhia Hiap Shin,” jawab Hiap Shin dengan nada gugup bercampur girang sebab diterima kerja.
“CLHiap Shin a,,,, panggil saya Koh Akhiong, tapi orang-orang di sini panggil saya Khokho,” terang Kho Akhiong.
“lya Kho…,” jawab Hiap Shin dengan nada riang.
“Jadi Kho, kapan ia bisa mulai kerja?” tanya Afhui kepada Kho Akhiong.
“Dia bisa kapan mulai kerja? Saya bisa kapan saja,” jawab Kho Akhiong.
“Kalau mulai hari ini saya juga bisa, Kho,” jawab Hiap Shin.
“Oke… kini kau pindahkan itu barang ke gerobak yang di ujung sana,” perintah Kho Akhiong tanpa basa basi.
“Baik, Kho,” jawab Hiap Shin menyanggupi dengan semangatnya.
Waktu sudah memperlihatkan pukul 13.00 WIB sudah waktunya makan siang bagi para pekerja. Para pekerja pribadi beristirahat dan sibuk melahap santapan makan siang mereka. Namun, Hiap Shin tidak ikut makan siang sebab ia tak membawa uang sepeser pun. la berpikir mencari cara untuk menenangkan cacing-cacing yang ada diperutnya ketika ini.
“Hei!!” tiba-tiba seseorang berteriak mengagetkan Hiap Shin. Seketika ia mencari dari mana sumber bunyi itu dilihatnya seorang laki-laki yang melambai padanya ternyata laki-laki yang berteriak padanya yakni Kho Akhiong.
“CLKho,” tersenyum Hiap Shin mengetahuinya.
“Sini..sini,” panggil Kho Akhiong sambil melambai memanggil dirinya.
“lya, Kho. Ada apa Kho,” jawab Hiap Shin ingin tau sembari menghampiri Kho Akhiong.
“Kamu sudah makan? Kalau kau belum makan, makan sama saya saja,” Kho Akhiong memperlihatkan makanan, sebab melihat Hiap Shin yang teriihat celingak-celinguk ketika makan siang.
“O..iya Kho,” jawab Hiap Shin tanpa basa kedaluwarsa ia tak tahan lagi menenangkan cacing-cacing di perutnya yang meminta hak mereka.
“Kamu berasal dari mana?” tanya Kho Akhiong ketika makan di meja makan.
“Dari Beijing, Kho,” jawab Hiap Shin sambil asyik melahap makanannya.
“Kenapa kau mau ke Kalimantan jikalau kau juga pada kesannya jadi buruh di sini?” tanya Kho Akhiong.
“Saya pada awalnya ingin berdagang Kho, tapi apa boleh buat namanya juga nasib,” jawab Hiap Shin.
“HAHAHA !!” tawa Kho Akhiong pecah sesudah mendengar balasan lugu dari pekerja barunya itu.
“Hek, Uhuk..Uhuk..Uhuk…”Spontan Hiap Shin tersedak mendengar tawa bosnya tersebut, ia terheran-heran akan sikap bosnya tersebut. Salahkah saya menjawabnya? Kenapa ia tertawa? pitor Hiap Shin.
“Kamu sebut itu nasib? Hei, nasib itu tergantung dirimu sendiri,” ujar Kho Akhiong.
“Maksud Khokho ?” tanya Hiap Shin resah dengan pernyataan bosnya itu.
“Nasib itu bisa kau ubah, Shin. Tidak ada yang tidak bisa diubah selama dirimu itu mau berubah,” kata Kho Akhiong menasehati.
“Saya menyerah, saya sudah tidak bisa apa-apa lagi, Kho. Saya tiba ke Kalimantan ini hanya untuk berdagang pada awalnya, tetapi ternyata barang yang saya perdagangkan kalah saing dengan barang-barang yang ada di pasaran. Dan kesannya saya bangkrut, saya pengangguran, mencari pekerjaan, dan simpulan dongeng di sinilah saya berada di hadapan anda, Kho,” terang Hiap Shin menceritakan pengalaman hidupnya.
“Malang sekali dirimu, tapi ingatlah selalu ini pesan yang tersirat untukmu, nasib dan takdir itu memang ditentukan oleh Tuhan, Shin. Tetapi, kita insan harus berusaha dan terus berusaha jangan hingga suatu duduk kasus itu menjadi penghalang yang membuatmu tak berdaya kau bisa mengubah itu semua selagi kau mau melakukannya,” kata Kho Akhiong ke pada orang yang sedang patah semangat itu.
“Baiklah, Kho. Terima kasih saya akan selalu mengingatnya,” ucap Hiap Shin.
“Oke, kini kau kerjalah,” kata Kho Akhiong menyuruhnya.
“Baik Kho. Terima kasih juga atas makanannya,” ucap Hiap Shin menutupi pembicaraan.
Pagi yang cerah untuk mengawali acara yang istimewa. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, sudah berselang satu tahun dari hari pertama ia bekerja di Toko Sembako Kho Akhiong. Kho Akhiong pun semakin hari semakin baik dan percaya akan dedikasi Hiap Shin terhadap dirinya.
Namun, dibalik rasa simpati dan kepercayaan yang diberikan oleh Kho Akhiong terhadap Hiap Shin, ada rasa iri dari salah seorang pegawainya yang merasa jikalau ia lebih pantas diberi kepercayaan oleh Kho Akhiong. Karena ia lebih usang bekerja dan mengabdi kepada Kho Akhiong bukannya Hiap Shin. Dengan adanya rasa iri yang dimilikinya ia berusaha untuk berbuat jahat terhadap Hiap Shin.
“Shin ei… Shin. Nyi lay Shin, kau tolong antar ini bawang ke Pasar Hongkong,” perintah Kho Akhiong kepada Hiap Shin ketika Kho Akhiong mendapatkan pesanan untuk diantarkan.
“Ho..Kho..Ngai Thit…” jawab Hiap Shin dalam bahasa Haka.
“Ingat; jangan lupa!” teriak Khokho dari dalam toko.
Ketika Hiap Shin berkemas-kemas untuk berangkat dan sedang mengangkut karung goni berisikan bawang, bisik-bisik antar pekerja pun terjadi antara Chi Liong dan Aphin.
“Coba lihat itu, makin besar saja kepala anak itu,” kata Aphin, pekerja di toko itu yang juga tidak menyukai sikap Kho Akhiong yang akhir-akhir ini mengatakan kepercayaan yang lebih kepada Hiap Shin.
“Lalu kenapa kalian harus repot-repot dengan duduk kasus yang belum tentu ada untungnya untukmu?” tanya salah seorang lagi yang merasa risih dengan pembicaraan itu.
“Heh!! Diam sajalah kau!!” hardik Chi Liong kepada orang itu. Tersentak kaget pekerja tersebut sebab bentakan dari Chi Liong.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Aphin kepada Chi Liong.
“Kita lihat saja nanti apa yang bisa kita lakukan.”kata Chi Liong penuh misteri seakan ingin melaksanakan sesuatu yang tidak baik kepada Hiap Shin.
Jadwal makan siang sudah tiba, saatnya mengisi perut biar cacing-cacing di perut tidak berdemo. Saat semua pekerja yang lain sedang asyik menyantap kuliner mereka di luar toko. Seorang pegawai mengendap-endap dan mendekati kuliner yang berada di atas meja makan sambil menaburkan sebotol bubuk diatas kuliner tersebut. Sekilas bubuk tersebut terlihat ibarat tepung yang tampaknya bukanlah tepung. Setelah menabur bubuk itu, ia pun tergesa-gesa pergi.
Selang beberapa waktu Hiap Shin tiba dan berkemas-kemas untuk menyantap kuliner yang berada di atas meja. Tetapi, ada bunyi yang memanggil namanya sehingga ia pun menunda untuk menyantap makanannya tersebut.
Saat Hiap Shin pergi untuk menuntaskan beberapa urusannya, seekor kucing tiba menghampiri makan siangnya itu dan melahapnya tanpa mengetahui apa yang ada di dalam kuliner tersebut Seketika kucing tersebut kejang-kejang kemudian kesannya mati di samping makan siangnya.
Ketika Hiap Shin kembali ia terkejut melihat ada seekor kucing yang mati dengan ekspresi berbuih di samping makan siangnya. la merasa kaget, heran, dan resah sekaligus bersyukur sebab ia tidak jadi memakan makan siangnya yang ternyata beracun. Namun, ia merasa heran,” siapa yang tega melaksanakan ini terhadapnya?” pikir Hiap Shin.
“Huaaah capeknya,” keluh Hiap Shin kepada dirinya sendiri.
“Hei Shin..!!” tersentak kaget Hiap Shin sebab teriakan itu.
“Oh…Chi Liong, ada apa? Kenapa pake teriak-teriak? Ngai punya indera pendengaran e,” kata Hiap Shin memprotes tingkah Chi Liong.
Sembari menutup pintu Chi Liong mendekati Hiap Shin. Hiap Shin terheran-heran sebab tingkah laris Chi Liong. Apa mungkin ia yang meracuni makananku? Terbesit di dalam pitoran Hiap Shin akan orang yang meracuni makanannya. Namun, Chi Liong semakin mendekat dan melihat dirinya dengan mata yang terlihat begitu menyeramkan.
“Kau sedang apa?” tanya Hiap Shin dengan nada takut Secara tiba-tiba Chi Liong mengacungkan sebuah pisau dan mengayunkan pisau ke arah Hiap Shin dengan membabi buta,berusaha untuk mengenai badan Hiap Shin.
“Hei! Chi Liong berhenti!! Apa kau sudah gila?” teriak Hiap Shin.
“lya…Aku memang sudah gila, ini semua sebab dirimu!!”
“Apa salahku kepadamu? Aku tak pernah mencari duduk kasus dengan dirimu!!” Jelas Hiap Shin dengan nada gemetar dan was-was sebab takut akan kemarahan Chi Liong yang membabi buta.
“AAAhhhhh…!! Banyak ekspresi kau!!”
Chi Liong terus berusaha untuk menusuk Hiap Shin sebab ia beranggapan bahwa Hiap Shin lah yang menyebabkan dirinya tersisihkan. Akibat kedatangannya ,dirinya menjadi turun di mata Kho Akhiong. Kho Akhiong tidak lagi menaruh kepercayaan kepada dirinya.
Namun, semakin keras ia berusaha untuk membunuh Hiap Shin semakin hilang pula logika sehat yang ia miliki. Hiap Shin berlari keluar untuk menghindari serangan Chi Liong, melihat kejadian kejar-kejaran itu, para pekerja merasa terheran-heran dan berusaha membantu Hiap Shin lepas dari kejaran Chi Liong yang membabi buta, membutuhkan waktu yang usang untuk menenangkannya.
Setelah Chi Liong menjadi tenang. Kho Akhiong yang mendengar gosip tersebut menjadi murka dan pribadi memecat Chi Liong tanpa ada uang pesangon sama sekali. la tak menyangka bahwa ada di antara anak buahnya yang berani bertindak seanarkis itu. Kho Akhiong kembali mengingat insiden ketika Chi Liong mendapatkan kepercayaannya, tetapi kepercayaan itu disalahgunakan olehnya.
Di malam yang larut hujan turun begitu lebatnya bersama tiupan angin yang begitu hirau taacuh hingga siap menciptakan badan menggigil. Saat itu, Kho Akhiong sedang berjalan kaki menyusuri jalan di pasar untuk pulang ke rumahnya menggunakan mantel dan payung untuk menghindari dari guyuran hujan. Seketika Kho Akhiong merasa terkejut melihat seorang cowok terkulai tak berdaya di depan rumahnya dengan beberapa luka lebam di sekitar badan dan wajahnya. Kho Akhiong merasa iba dan menolongnya.
Setelah sebulan ia berada di rumah Kho Akhiong, cowok itu mendapatkan kepercayaan dari Kho Akhiong. Kho Akhiong merasa bahwa cowok tersebut bisa dipercaya sebab ia telah memperlihatkan beberapa tindakan terima kasihnya kepada Kho Akhiong. Pemuda itu menjaga tokonya di ketika Kho Akhiong tidak sanggup menjaga toko, membersihkan alat-alat berniaganya, dan membantunya dalam segala hal yang bisa ia kerjakan.
Kho Akhiong mempercayainya menjaga toko selagi Kho Akhiong pergi keluar kota. Namun, suatu ketika Kho Akhiong pulang lebih cepat dari rencananya, ia tersentak kaget melihat tokonya terbengkalai tak tentu arah, yang terlihat hanya sebuah tempat yang sangat kacau dan tidak terlihat seorang pembeli pun.
“Apa yang kau lakukan selama saya pergi?” tanya Kho Akhiong kepada Chi Liong yang hanya membisu mematung.
“Jawab saya Chi Liong, apa yang sudah kau lakukan terhadap tokoku? Apa kau ingin menciptakan tempatku ini menjadi sarang kerbau?” tanya Kho Akhiong lagi menuntut penjelasan.
“A…a.. saya hanya…” jawab Chi Liong tergagap ketakutan.
“Kenapa berhenti? Cepat jelaskan!!” hardik Khokho.
“Ini semua terjadi karena, sebelum saya berada di sini saya banyak dililit hutang dan saya tidak bisa untuk membayarnya. Tadi para rentenir itu menemukan keberadaanku dan menagih semua hutang itu, tetapi saya tidak bisa membayarnya, lalu…” Chi Liong membisu sejenak sebab gemetar.
“Lalu apa?”
“Lalu…mereka mengacak-acak tempat ini dan mengambil semua uang yang ada, tapi saya sudah berusaha untuk mencegahnya,” terang Chi Liong membela diri. Namun, Kho Akhiong hanya membisu tak bergeming.
“Aku minta maaf Kho, saya tak bermaksud untuk menciptakan dirimu gulung tikar atau apapun itu. Aku sama sekali tak bermaksud, Kho,”ujar Chi Liong mengharap belas kasihan Kho Akhiong.
Kho Akhiong menarik nafas sejenak untuk mengatur emosinya.
“Baiklah…sebagai gantinya, kau harus bekerja di sini untuk melunasi semua kerugian yang saya alami.” Tanpa berkata banyak lagi Kho Akhiong pergi tanpa menghiraukan keberadaan Chi Liong.
Lamunan Kho Akhiong buyar sesudah seseorang menepak pundaknya. la tahu bahwa Chi Liong tidak bisa berbuat apa-apa sebab ini semua terjadi sebab kecerobohan Chi Liong sendiri yang terlalu mengikuti amarahnya. Chi Liong pun hanya bisa mendapatkan dengan rasa bersalah dan penuh penyesalan.
Waktu pun semakin berlalu dari tahun ke tahun. Karena sudah merasa mapan akan hidupnya, Hiap Shin kemudian membangun sebuah armada kapal yang merupakan tempat persinggahan dan berlabuh para awak kapal dan para pedagang untuk melaksanakan distribusi maupun sebagai tempat pangkalan kapal pengantar atau angkutan umum untuk wilayah perairan.
Dengan dibangunnya armada kapal ini, Hiap Shin semakin berjaya dalam dunia perekonomian khususnya di wilayah Singkawang dan sekitamya. Kemudian ia membangun rumahnya di atas armada tersebut.
“Aaduuh…Shin, makin ahli saja kau ini,” kata Afhui kagum akan kesuksesan Hiap Shin.
“Ah..tidak juga, Fhui. Kamu bisa saja, saya ibarat ini juga berkat dirimu, jikalau kau tidak mengenalkanku kepada Kho Akhiong saya akan selalu menjadi pecundang ibarat dulu,” Hiap Shin merasa berbangga diberi kebanggaan oleh sahabat yang telah membantunya.
“Lalu? apa kau tidak mau mentraktirku?” kata Afhui dengan nada bercanda, tetapi berharap.
“Tentu saya akan mentraktir sahabat yang baik sepertimu,” jawab Hiap Shin menyenangkan hati Afhui.
“Serius?” kata Afhui tak percaya.
“Tentu, saya sangat serius, nan, apa yang kau ingin kan?”
“Oke, bagaimana jikalau kita mengajak Kho Akhiong juga?” seruan Chi Lioang.
“Kenapa tidak, ayo kita ajak,” sahut Hiap Shin antusias.
Maka pergilah mereka berdua menuju toko Kho Akhiong. Sesampainya disana mereka mengajak Khokho untuk makan bersama di restaurant kuliner Cina yang populer pada masa itu.
Setibanya mereka di depan restaurant kuliner Cina, tercium harumnya kuliner Cina yang siap menciptakan lambung bergoyang-goyang sebab terpengaruhi untuk melahapnya. Mereka memesan beberapa porsi kuliner dan menghabiskan sebotol minuman sambil berbincang-bincang hingga lupa waktu.
Tidak usang berselang waktu, Hiap Shin menikah dengan warga lokal dan memulai kehidupan barunya dengan melahirkan bawah umur mereka. Mereka melahirkan tujuh generasi yang hingga kini masih menempati rumah tersebut.
Pada masa itu sosok Tjhia Hiap Shin populer akan kekayaannya dan kejayaannya, ia selalu berinteraksi dengan para investor-investor luar kawasan Indonesia dan Kalimantan.
Ketika Hiap Shin wafat sebab sakit yang dideritanya, setiap anaknya mendapatkan warisan yang sama rata. Mereka pun menjadi suatu keluarga besar yang ada di Singkawang. Sampai kini tempat yang dulunya yakni sebuah armada kapal kini menjadi rumah yang paling bau tanah di Singkawang. Rumah itu dikenal dengan nama Rumah Tua di Kawasan Tradisional atau juga disebut dengan Rumah Keluarga Tjhia dan menjadi suatu ikon yang ada di sentra Kota Singkawang.
Begitulah kisah bagaimana rumah keluarga Tjhia terbangun hingga sekarang. Rumah itu menjadi saksi akan kisah perjalanan hidup seorang Tjhia Hiap Shin serta ke tujuh generasinya.
Bahkan, ada warga mereka yang menetap di Kalimantan sebab kehidupan perekonomian yang mereka anggap terjamin. Setelah tiba di Pulau Kalimantan, ia menuju Singkawang yang merupakan salah satu sentra jalur perdagangan pada masa itu. Di sana ia berbisnis dan mencari tempat tinggal seadanya.
Setelah beberapa waktu berlalu bisnis yang ia geluti kalah oleh harga pasar sehingga kesannya ia bangkrut. la pun berusaha mencari pekerjaan untuk modal membuka perjuangan kembali. Namun, sebulan berlalu Hiap Shin belum juga mendapatkan pekerjaan. Pada suatu hari ia berkeliling Kota Singkawang dengan maksud untuk mencari pekerjaan ibarat biasanya.
Selama tiga hari ia mencari pekerjaan, tetapi hanya rasa kecewa yang ia dapatkan. Dengan langkah gontai ia berjalan dan terus berjalan hingga suatu ketika ia terkejut dengan bunyi teriakan yang memanggilnya dengan nama panggilan kesehariannya.
“Shin… oi… Shin… kha hi Shin...,” teriak seseorang sambil setengah berlari menuju tempat Hiap Shin berdiri. Hiap Shin pun menoleh ke belakangnya mencari sumber panggilan tersebut.
Hiap Shin berkata, “Oh Afhui.. Thomae na?” Saat mengenali orang yang telah memanggil namanya, orang tersebut berpakaian cukup rapi menggunakan sepatu yang necis, rambutnya mengkilap sebab minyak rambut, dan berbau wangi yang berasal dari parfum mahal. Tampaknya ia sangat memperhatikan dan menjaga penampilannya, yang niscaya orang tersebut tidak berpakaian ibarat dirinya.
“lya ini aku, kau apa kabar? Aku takut tadi saya salah orang, ternyata benar ini kamu,” kata orang tersebut.
“Aku baik-baik saja, Fhui. Kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Hiap Shin.
“Justru saya yang harusnya bertanya. Kenapa kau bisa ada di sini?” Afhui balik bertanya.
“A…a…aku cuma….,” Hiap Shin tergagap.
“Kau mencari pekerjaan ya?” tanya Afhui spontan, ia berusaha menebak apa yang sedang temannya itu lakukan.
“Huf, iya Fhui. Aku sedang mencari pekerjaan kini ,tetapi saya selalu saja ditolak,” jawab Hiap Shin dengan nada murung.
“Ah, kau ini kenapa tidak bilang-bilang dulu. Sudahlah, Mari ikut aku!” ajak Afhui sembari menarik tangan Hiap Shin.
“Kita mau kemana?” tanya Hiap Shin bingung.
“Kau mau pekerjaan bukan?” tanya Afhui lagi.
“Tentu saja saya mau,” jawab Hiap Shin.
“Kalau begitu kau ikut aku, akan saya kenalkan dengan seseorang yang akan mempekerjakanmu,” kata Afhui menunjukan maksudnya.
Tak berapa usang sampailah mereka di sebuah toko sembako, tempat berniaga para pedagang untuk memasarkan barang dagangan mereka. Keadaan di toko sembako tersebut terlihat begitu hiruk pikuk dikarenakan para pekerja yang terlihat begitu sibuk kemudian lalang, ada yang sedang menimbang beras dan tepung, ada yang sibuk membersihkan tempat dedag (makanan unggas), dan banyak pekerjaan lainnya.
Semua pekerjaan itu terlihat sangat melelahkan dan menyibukkan. Namun, ia melihat seorang laki-laki paruh baya yang terlihat begitu damai sambil menghisap rokok yang berada ditangannya. Pria tersebut terlihat begitu santai sambil sesekali memerintah para pekerjanya.
“Nah, kini sudah sampai, ayo!” Afhui mengagetkan dan menarik tangan Hiap Shin yang terkesima melihat kesibukan di toko sembako tersebut, menuju laki-laki bau tanah yang sedang asyik mengamati.
“Halo Kho, apa kabar?” sapa Afhui ramah kepada laki-laki tersebut.
“Oh Afhui, ada apa kau di sini?” tanya laki-laki bau tanah itu.
“Ini Kho saya bawa sahabat saya, katanya ia mau cari kerja, Kho,” jawab Afhui.
“Oh..mau kerja? Ada…ada, kau siapa punya nama?” tanya laki-laki bau tanah tersebut dengan tutur bahasa Indonesia yang terbolak-balik.
“S…s..saya Kho? Saya punya nama Hiap Shin, Kho, Tjhia Hiap Shin,” jawab Hiap Shin dengan nada gugup bercampur girang sebab diterima kerja.
“CLHiap Shin a,,,, panggil saya Koh Akhiong, tapi orang-orang di sini panggil saya Khokho,” terang Kho Akhiong.
“lya Kho…,” jawab Hiap Shin dengan nada riang.
“Jadi Kho, kapan ia bisa mulai kerja?” tanya Afhui kepada Kho Akhiong.
“Dia bisa kapan mulai kerja? Saya bisa kapan saja,” jawab Kho Akhiong.
“Kalau mulai hari ini saya juga bisa, Kho,” jawab Hiap Shin.
“Oke… kini kau pindahkan itu barang ke gerobak yang di ujung sana,” perintah Kho Akhiong tanpa basa basi.
“Baik, Kho,” jawab Hiap Shin menyanggupi dengan semangatnya.
Waktu sudah memperlihatkan pukul 13.00 WIB sudah waktunya makan siang bagi para pekerja. Para pekerja pribadi beristirahat dan sibuk melahap santapan makan siang mereka. Namun, Hiap Shin tidak ikut makan siang sebab ia tak membawa uang sepeser pun. la berpikir mencari cara untuk menenangkan cacing-cacing yang ada diperutnya ketika ini.
“Hei!!” tiba-tiba seseorang berteriak mengagetkan Hiap Shin. Seketika ia mencari dari mana sumber bunyi itu dilihatnya seorang laki-laki yang melambai padanya ternyata laki-laki yang berteriak padanya yakni Kho Akhiong.
“CLKho,” tersenyum Hiap Shin mengetahuinya.
“Sini..sini,” panggil Kho Akhiong sambil melambai memanggil dirinya.
“lya, Kho. Ada apa Kho,” jawab Hiap Shin ingin tau sembari menghampiri Kho Akhiong.
“Kamu sudah makan? Kalau kau belum makan, makan sama saya saja,” Kho Akhiong memperlihatkan makanan, sebab melihat Hiap Shin yang teriihat celingak-celinguk ketika makan siang.
“O..iya Kho,” jawab Hiap Shin tanpa basa kedaluwarsa ia tak tahan lagi menenangkan cacing-cacing di perutnya yang meminta hak mereka.
“Kamu berasal dari mana?” tanya Kho Akhiong ketika makan di meja makan.
“Dari Beijing, Kho,” jawab Hiap Shin sambil asyik melahap makanannya.
“Kenapa kau mau ke Kalimantan jikalau kau juga pada kesannya jadi buruh di sini?” tanya Kho Akhiong.
“Saya pada awalnya ingin berdagang Kho, tapi apa boleh buat namanya juga nasib,” jawab Hiap Shin.
“HAHAHA !!” tawa Kho Akhiong pecah sesudah mendengar balasan lugu dari pekerja barunya itu.
“Hek, Uhuk..Uhuk..Uhuk…”Spontan Hiap Shin tersedak mendengar tawa bosnya tersebut, ia terheran-heran akan sikap bosnya tersebut. Salahkah saya menjawabnya? Kenapa ia tertawa? pitor Hiap Shin.
“Kamu sebut itu nasib? Hei, nasib itu tergantung dirimu sendiri,” ujar Kho Akhiong.
“Maksud Khokho ?” tanya Hiap Shin resah dengan pernyataan bosnya itu.
“Nasib itu bisa kau ubah, Shin. Tidak ada yang tidak bisa diubah selama dirimu itu mau berubah,” kata Kho Akhiong menasehati.
“Saya menyerah, saya sudah tidak bisa apa-apa lagi, Kho. Saya tiba ke Kalimantan ini hanya untuk berdagang pada awalnya, tetapi ternyata barang yang saya perdagangkan kalah saing dengan barang-barang yang ada di pasaran. Dan kesannya saya bangkrut, saya pengangguran, mencari pekerjaan, dan simpulan dongeng di sinilah saya berada di hadapan anda, Kho,” terang Hiap Shin menceritakan pengalaman hidupnya.
“Malang sekali dirimu, tapi ingatlah selalu ini pesan yang tersirat untukmu, nasib dan takdir itu memang ditentukan oleh Tuhan, Shin. Tetapi, kita insan harus berusaha dan terus berusaha jangan hingga suatu duduk kasus itu menjadi penghalang yang membuatmu tak berdaya kau bisa mengubah itu semua selagi kau mau melakukannya,” kata Kho Akhiong ke pada orang yang sedang patah semangat itu.
“Baiklah, Kho. Terima kasih saya akan selalu mengingatnya,” ucap Hiap Shin.
“Oke, kini kau kerjalah,” kata Kho Akhiong menyuruhnya.
“Baik Kho. Terima kasih juga atas makanannya,” ucap Hiap Shin menutupi pembicaraan.
Pagi yang cerah untuk mengawali acara yang istimewa. Tak terasa waktu berlalu dengan cepat, sudah berselang satu tahun dari hari pertama ia bekerja di Toko Sembako Kho Akhiong. Kho Akhiong pun semakin hari semakin baik dan percaya akan dedikasi Hiap Shin terhadap dirinya.
Namun, dibalik rasa simpati dan kepercayaan yang diberikan oleh Kho Akhiong terhadap Hiap Shin, ada rasa iri dari salah seorang pegawainya yang merasa jikalau ia lebih pantas diberi kepercayaan oleh Kho Akhiong. Karena ia lebih usang bekerja dan mengabdi kepada Kho Akhiong bukannya Hiap Shin. Dengan adanya rasa iri yang dimilikinya ia berusaha untuk berbuat jahat terhadap Hiap Shin.
“Shin ei… Shin. Nyi lay Shin, kau tolong antar ini bawang ke Pasar Hongkong,” perintah Kho Akhiong kepada Hiap Shin ketika Kho Akhiong mendapatkan pesanan untuk diantarkan.
“Ho..Kho..Ngai Thit…” jawab Hiap Shin dalam bahasa Haka.
“Ingat; jangan lupa!” teriak Khokho dari dalam toko.
Ketika Hiap Shin berkemas-kemas untuk berangkat dan sedang mengangkut karung goni berisikan bawang, bisik-bisik antar pekerja pun terjadi antara Chi Liong dan Aphin.
“Coba lihat itu, makin besar saja kepala anak itu,” kata Aphin, pekerja di toko itu yang juga tidak menyukai sikap Kho Akhiong yang akhir-akhir ini mengatakan kepercayaan yang lebih kepada Hiap Shin.
“Lalu kenapa kalian harus repot-repot dengan duduk kasus yang belum tentu ada untungnya untukmu?” tanya salah seorang lagi yang merasa risih dengan pembicaraan itu.
“Heh!! Diam sajalah kau!!” hardik Chi Liong kepada orang itu. Tersentak kaget pekerja tersebut sebab bentakan dari Chi Liong.
“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Aphin kepada Chi Liong.
“Kita lihat saja nanti apa yang bisa kita lakukan.”kata Chi Liong penuh misteri seakan ingin melaksanakan sesuatu yang tidak baik kepada Hiap Shin.
Jadwal makan siang sudah tiba, saatnya mengisi perut biar cacing-cacing di perut tidak berdemo. Saat semua pekerja yang lain sedang asyik menyantap kuliner mereka di luar toko. Seorang pegawai mengendap-endap dan mendekati kuliner yang berada di atas meja makan sambil menaburkan sebotol bubuk diatas kuliner tersebut. Sekilas bubuk tersebut terlihat ibarat tepung yang tampaknya bukanlah tepung. Setelah menabur bubuk itu, ia pun tergesa-gesa pergi.
Selang beberapa waktu Hiap Shin tiba dan berkemas-kemas untuk menyantap kuliner yang berada di atas meja. Tetapi, ada bunyi yang memanggil namanya sehingga ia pun menunda untuk menyantap makanannya tersebut.
Saat Hiap Shin pergi untuk menuntaskan beberapa urusannya, seekor kucing tiba menghampiri makan siangnya itu dan melahapnya tanpa mengetahui apa yang ada di dalam kuliner tersebut Seketika kucing tersebut kejang-kejang kemudian kesannya mati di samping makan siangnya.
Ketika Hiap Shin kembali ia terkejut melihat ada seekor kucing yang mati dengan ekspresi berbuih di samping makan siangnya. la merasa kaget, heran, dan resah sekaligus bersyukur sebab ia tidak jadi memakan makan siangnya yang ternyata beracun. Namun, ia merasa heran,” siapa yang tega melaksanakan ini terhadapnya?” pikir Hiap Shin.
“Huaaah capeknya,” keluh Hiap Shin kepada dirinya sendiri.
“Hei Shin..!!” tersentak kaget Hiap Shin sebab teriakan itu.
“Oh…Chi Liong, ada apa? Kenapa pake teriak-teriak? Ngai punya indera pendengaran e,” kata Hiap Shin memprotes tingkah Chi Liong.
Sembari menutup pintu Chi Liong mendekati Hiap Shin. Hiap Shin terheran-heran sebab tingkah laris Chi Liong. Apa mungkin ia yang meracuni makananku? Terbesit di dalam pitoran Hiap Shin akan orang yang meracuni makanannya. Namun, Chi Liong semakin mendekat dan melihat dirinya dengan mata yang terlihat begitu menyeramkan.
“Kau sedang apa?” tanya Hiap Shin dengan nada takut Secara tiba-tiba Chi Liong mengacungkan sebuah pisau dan mengayunkan pisau ke arah Hiap Shin dengan membabi buta,berusaha untuk mengenai badan Hiap Shin.
“Hei! Chi Liong berhenti!! Apa kau sudah gila?” teriak Hiap Shin.
“lya…Aku memang sudah gila, ini semua sebab dirimu!!”
“Apa salahku kepadamu? Aku tak pernah mencari duduk kasus dengan dirimu!!” Jelas Hiap Shin dengan nada gemetar dan was-was sebab takut akan kemarahan Chi Liong yang membabi buta.
“AAAhhhhh…!! Banyak ekspresi kau!!”
Chi Liong terus berusaha untuk menusuk Hiap Shin sebab ia beranggapan bahwa Hiap Shin lah yang menyebabkan dirinya tersisihkan. Akibat kedatangannya ,dirinya menjadi turun di mata Kho Akhiong. Kho Akhiong tidak lagi menaruh kepercayaan kepada dirinya.
Namun, semakin keras ia berusaha untuk membunuh Hiap Shin semakin hilang pula logika sehat yang ia miliki. Hiap Shin berlari keluar untuk menghindari serangan Chi Liong, melihat kejadian kejar-kejaran itu, para pekerja merasa terheran-heran dan berusaha membantu Hiap Shin lepas dari kejaran Chi Liong yang membabi buta, membutuhkan waktu yang usang untuk menenangkannya.
Setelah Chi Liong menjadi tenang. Kho Akhiong yang mendengar gosip tersebut menjadi murka dan pribadi memecat Chi Liong tanpa ada uang pesangon sama sekali. la tak menyangka bahwa ada di antara anak buahnya yang berani bertindak seanarkis itu. Kho Akhiong kembali mengingat insiden ketika Chi Liong mendapatkan kepercayaannya, tetapi kepercayaan itu disalahgunakan olehnya.
Di malam yang larut hujan turun begitu lebatnya bersama tiupan angin yang begitu hirau taacuh hingga siap menciptakan badan menggigil. Saat itu, Kho Akhiong sedang berjalan kaki menyusuri jalan di pasar untuk pulang ke rumahnya menggunakan mantel dan payung untuk menghindari dari guyuran hujan. Seketika Kho Akhiong merasa terkejut melihat seorang cowok terkulai tak berdaya di depan rumahnya dengan beberapa luka lebam di sekitar badan dan wajahnya. Kho Akhiong merasa iba dan menolongnya.
Setelah sebulan ia berada di rumah Kho Akhiong, cowok itu mendapatkan kepercayaan dari Kho Akhiong. Kho Akhiong merasa bahwa cowok tersebut bisa dipercaya sebab ia telah memperlihatkan beberapa tindakan terima kasihnya kepada Kho Akhiong. Pemuda itu menjaga tokonya di ketika Kho Akhiong tidak sanggup menjaga toko, membersihkan alat-alat berniaganya, dan membantunya dalam segala hal yang bisa ia kerjakan.
Kho Akhiong mempercayainya menjaga toko selagi Kho Akhiong pergi keluar kota. Namun, suatu ketika Kho Akhiong pulang lebih cepat dari rencananya, ia tersentak kaget melihat tokonya terbengkalai tak tentu arah, yang terlihat hanya sebuah tempat yang sangat kacau dan tidak terlihat seorang pembeli pun.
“Apa yang kau lakukan selama saya pergi?” tanya Kho Akhiong kepada Chi Liong yang hanya membisu mematung.
“Jawab saya Chi Liong, apa yang sudah kau lakukan terhadap tokoku? Apa kau ingin menciptakan tempatku ini menjadi sarang kerbau?” tanya Kho Akhiong lagi menuntut penjelasan.
“A…a.. saya hanya…” jawab Chi Liong tergagap ketakutan.
“Kenapa berhenti? Cepat jelaskan!!” hardik Khokho.
“Ini semua terjadi karena, sebelum saya berada di sini saya banyak dililit hutang dan saya tidak bisa untuk membayarnya. Tadi para rentenir itu menemukan keberadaanku dan menagih semua hutang itu, tetapi saya tidak bisa membayarnya, lalu…” Chi Liong membisu sejenak sebab gemetar.
“Lalu apa?”
“Lalu…mereka mengacak-acak tempat ini dan mengambil semua uang yang ada, tapi saya sudah berusaha untuk mencegahnya,” terang Chi Liong membela diri. Namun, Kho Akhiong hanya membisu tak bergeming.
“Aku minta maaf Kho, saya tak bermaksud untuk menciptakan dirimu gulung tikar atau apapun itu. Aku sama sekali tak bermaksud, Kho,”ujar Chi Liong mengharap belas kasihan Kho Akhiong.
Kho Akhiong menarik nafas sejenak untuk mengatur emosinya.
“Baiklah…sebagai gantinya, kau harus bekerja di sini untuk melunasi semua kerugian yang saya alami.” Tanpa berkata banyak lagi Kho Akhiong pergi tanpa menghiraukan keberadaan Chi Liong.
Lamunan Kho Akhiong buyar sesudah seseorang menepak pundaknya. la tahu bahwa Chi Liong tidak bisa berbuat apa-apa sebab ini semua terjadi sebab kecerobohan Chi Liong sendiri yang terlalu mengikuti amarahnya. Chi Liong pun hanya bisa mendapatkan dengan rasa bersalah dan penuh penyesalan.
Waktu pun semakin berlalu dari tahun ke tahun. Karena sudah merasa mapan akan hidupnya, Hiap Shin kemudian membangun sebuah armada kapal yang merupakan tempat persinggahan dan berlabuh para awak kapal dan para pedagang untuk melaksanakan distribusi maupun sebagai tempat pangkalan kapal pengantar atau angkutan umum untuk wilayah perairan.
Dengan dibangunnya armada kapal ini, Hiap Shin semakin berjaya dalam dunia perekonomian khususnya di wilayah Singkawang dan sekitamya. Kemudian ia membangun rumahnya di atas armada tersebut.
“Aaduuh…Shin, makin ahli saja kau ini,” kata Afhui kagum akan kesuksesan Hiap Shin.
“Ah..tidak juga, Fhui. Kamu bisa saja, saya ibarat ini juga berkat dirimu, jikalau kau tidak mengenalkanku kepada Kho Akhiong saya akan selalu menjadi pecundang ibarat dulu,” Hiap Shin merasa berbangga diberi kebanggaan oleh sahabat yang telah membantunya.
“Lalu? apa kau tidak mau mentraktirku?” kata Afhui dengan nada bercanda, tetapi berharap.
“Tentu saya akan mentraktir sahabat yang baik sepertimu,” jawab Hiap Shin menyenangkan hati Afhui.
“Serius?” kata Afhui tak percaya.
“Tentu, saya sangat serius, nan, apa yang kau ingin kan?”
“Oke, bagaimana jikalau kita mengajak Kho Akhiong juga?” seruan Chi Lioang.
“Kenapa tidak, ayo kita ajak,” sahut Hiap Shin antusias.
Maka pergilah mereka berdua menuju toko Kho Akhiong. Sesampainya disana mereka mengajak Khokho untuk makan bersama di restaurant kuliner Cina yang populer pada masa itu.
Setibanya mereka di depan restaurant kuliner Cina, tercium harumnya kuliner Cina yang siap menciptakan lambung bergoyang-goyang sebab terpengaruhi untuk melahapnya. Mereka memesan beberapa porsi kuliner dan menghabiskan sebotol minuman sambil berbincang-bincang hingga lupa waktu.
Tidak usang berselang waktu, Hiap Shin menikah dengan warga lokal dan memulai kehidupan barunya dengan melahirkan bawah umur mereka. Mereka melahirkan tujuh generasi yang hingga kini masih menempati rumah tersebut.
Pada masa itu sosok Tjhia Hiap Shin populer akan kekayaannya dan kejayaannya, ia selalu berinteraksi dengan para investor-investor luar kawasan Indonesia dan Kalimantan.
Ketika Hiap Shin wafat sebab sakit yang dideritanya, setiap anaknya mendapatkan warisan yang sama rata. Mereka pun menjadi suatu keluarga besar yang ada di Singkawang. Sampai kini tempat yang dulunya yakni sebuah armada kapal kini menjadi rumah yang paling bau tanah di Singkawang. Rumah itu dikenal dengan nama Rumah Tua di Kawasan Tradisional atau juga disebut dengan Rumah Keluarga Tjhia dan menjadi suatu ikon yang ada di sentra Kota Singkawang.
Begitulah kisah bagaimana rumah keluarga Tjhia terbangun hingga sekarang. Rumah itu menjadi saksi akan kisah perjalanan hidup seorang Tjhia Hiap Shin serta ke tujuh generasinya.
Rumah Keluarga Tjhia mempunyai bentuk bangunan khas Tiongkok Utara (Si he yuan) dan bangunan ala kombinasi timur barat ini satu-satunya yang tertua dan masih berdiri kokoh di Kota Singkawang. Keberadaan bangunan sejarah tersebut juga menjadi bukti konkret sekaligus saksi bisu bahwa leluhur orang Tionghoa juga berperan dalam membangun negara ini dengan susah payah, bahwasanya dan gigih tanpa pamrih.
Catatan: Cerita ini bersumber dari salah satu cucu pendiri rumah bau tanah Tjhia yang telah dipublikasikan lewat buku “Kisah Rumah Keluarga Tjhia di Singkawang”, buku tersebut sanggup di baca di Ruang Deposit, Perpustakaan Provinsi Kalimantan Barat. Ayo ke Perpustakaan !!!
0 komentar:
Posting Komentar